Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh.
Muhasabah (Introspeksi diri)
Segala puji bagi Allah yang
menjanjikan bagi orang yang mengintrospeksi dan mengekang dirinya dengan rasa
aman di hari yang dijanjikan. Aku memuji-Nya, (Dia) Yang Maha Suci, Yang
memuliakan wali-wali-Nya, dan menganugrahkan tambahan pada mereka di hari
(itu). Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Terpuji. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan
rasul-Nya, beliau adalah sebaik-baik penyeru ke jalan dan petunjuk yang lurus,
Semoga shalawat, keberkahan dan salam tetap terlimpah pada beliau, keluarga
serta para shahabat yang mereka adalah suri tauladan bagi manusia dalam
muhasabah. Dengan memperingatkan dari hari yang amat hebat kegoncangannya.
Begitupula para tabi'in yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari yang
tidak mungkin menghindar darinya.
Wahai hamba-hamba Allah, aku
mewasiatkan diriku dan anda untuk bertakwa pada Allah dan introspeksi diri.
Karena dengan muhasabah, maka jiwa akan menjadi istiqamah, sempurna dan
bahagia. Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah
diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" [Q.S Al-Hashr 59:18]
Ibnu Katsir rahimahullah
berkata dalam tafsirnya: "Firman Allah وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ
لِغَدٍ , maksudnya introspeksilah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan
perhatikan amalan sholeh yang telah kalian persiapkan untuk hari kemudian dan
pertanggung jawaban di hadapan Allah.
Allah berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا .
فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا . قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا . وَقَدْ
خَابَ مَن دَسَّاهَا
"Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (Q.S Asy-Syams 7-10)
Imam Al-Badawy rahimahullah
berkata dalam tafsirnya: "Al-Hasan berkata: Maknanya sungguh beruntunglah
orang yang mensucikan, memperbaiki dan mengarahkan dirinya untuk taat pada
Allah 'Azza Wa Jalla:
قَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا ,
maksudnya, membinasakannya, menyesatkannya dan mengarahkannya pada perbuatan
maksiat.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin
Malik bahwa Rasulullah ^ bersabda: "Orang yang pandai adalah orang yang
mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk setelah kematian, sedang orang yang
lemah adalah orang yang jiwanya selalu tunduk pada nafsunya dan mengharap pada
Allah dengan berbagai angan-angan" (H.R Ahmad dan Tirmidzi)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Kitab
Az-Zuhd dari Umar bin Khattab bahwa beliau berkata: "Perhitungkanlah
diri kalian sebelum kalian diperhitungkan, timbanglah diri kalian sebelum
kalian ditimbang, karena itu lebih memudahkan penghisaban bagi kalian kelak,
Berhiaslah untuk menghadapi hari perhitungan
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى
مِنكُمْ خَافِيَةٌ : "Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada
Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)" (Q.S
Al-Haaqqah: 18)
Ibnul Qayyim rahimahullah
meriwayatkan dari Al-Hasan bahwa beliau berkata: "Seorang mukmin itu
pandai mengendalikan dirinya, selalu menghisab dirinya di hadapan Allah.
Penghisaban di Hari Kiamat itu akan menjadi ringan bagi mereka yang selalu
memperhitungkan selama di dunia. Sebaliknya, akan terasa berat bagi orang yang
tidak pernah memperhitungkan dirinya".
Berkata Wahab sebagaimana
diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah: "Dalam hikmah
keluarga Daud tertulis: "Sudah selayaknya bagi orang yang berakal
agar tidak lalai dari empat waktu:
- Saat bermunajat pada
Tuhannya
- Waktu mengintrospeksi diri
- Saat berkumpul bersama saudara
(dan teman) yang memberitahukan tentang kekurangan dan keadaan dirinya -
dan waktu refreshing/santai dengan melakukan sesuatu yang halal lagi
menyenangkan, karena pada saat tersebut akan mempermudah baginya melakukan
waktu-waktu di atas dan sekaligus menjadi penghibur hati.
Berkata Maimun bin Mahran:
"Seorang hamba tidak akan meraih derajat takwa sampai ia menghisab dirinya
melebihi seseorang pada patnernya. Karena itu dikatakan: "Jiwa itu ibarat
shahabat yang suka berkhianat, jika engkau tidak mengawasinya, maka ia akan
membawa lari hartanya".
Umar bin Khattab y menulis (surat)
pada beberapa pejabatnya: "Perhitungkanlah dirimu di waktu senang sebelum
datang perhitungan yang berat. Barangsiapa yang menghisab dirinya di waktu
senang sebelum perhitungan yang berat, maka ia akan ridha dan mendapat
keberuntungan. Sebaliknya, siapa yang kehidupannya melalaikannya dan nafsunya
menyibukkannya, maka ia akan menyesal dan mendapat kerugian"
(H.R Baihaqi dalam Al- Wahd dan Ibnu 'Asakir)
Ibnul Jauzi meriwayatkan dalam
(Kitab) Dzammul Hawa dari As-Sulamy berkata: Aku mendengar Abul Husain
Al-Farisy berkata: Aku mendengar Abu Muhammad Al-Hariri berkata:
"Barangsiapa yang dikuasai oleh jiwanya, maka ia akan berada dalam tawanan
syahwat dan terkurung dalam penjara hawa nafsu.
Allah mengharamkan bagi hatinya
untuk mendapat kemanfaatan, sehingga ia tidak dapat merasakan keindahan
firman-Nya meski ia banyak membacanya. Berkata Syaikh Abdul Aziz As-Salman rahimahullah
dalam kitabnya: Mawarid adz-Dzam-aan : "Jika ia sadar bahwa ia
akan di tanya dalam perhitungan nanti tentang perkara sekecil biji sawi, di
hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun, dimana di saat itu amat
dibutuhkan berbagai kebaikan, dan ampunan dosa-dosa, maka nyatalah bahwa tidak
akan selamat dari berbagai kesulitan kelak, melainkan dengan bergantung pada
Allah, dan pertolongan-Nya untuk introspeksi diri, muraqabah, dan
mengawasi jiwa dalam setiap gerak geriknya. Maka barangsiapa yang menghisab dirinya
sebelum di hisab, akan menjadi ringan perhitungan dirinya di Hari Kiamat, akan
ada jawaban di saat ia mengahadapi pertanyaan, dan akhir kesudahannya adalah
kebaikan.
Wahai jiwa, bersiaplah dengan
perbekalan yang engkau mampu
Wahai jiwa, sebelum (datangnya)
kematian, engkau tidak diciptakan dengan sia-sia
Waspadalah dari terjatuh pada
kehinaan dan merendah dirilah
Pintu Allah, berapa banyak Dia
Memberi petunjuk dan memaafkan
Takutlah dengan berbagai gejolak
kehidupan
Sadarlah, jangan menjadi seperti
orang yang terjatuh
Dalam jurang kehinaan …
Berkata Ibnu Qudamah dalam Minhaj
Al-Qashidin: "Ketauhilah bahwa musuhmu yang paling berbahaya adalah
jiwa yang berada dalam dirimu, ia memiliki nafsu ammarah bissuu',
condong pada kejahatan. Engkau diperintahkan untuk meluruskan, membersihkan,
dan memutusnya dari berbagai pengaruh negatif serta mengarahkannya dengan
rantai kekuatan untuk beribadah pada Tuhannya. Jika engkau menyepelekannya,
maka ia akan terlepas tanpa kendali dan engkau tidak mendapat keberuntungan
setelah itu. Kalau engkau senantiasa mengingatkannya maka kami mengharapkan
jiwa tersebut akan menjadi tenang. Karena itu jangan engkau lalai untuk
mengingatkannya".
·
Ketahuilah
wahai hamba-hamba Allah, bahwa muhasabah itu ada beberapa macam:
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:
Muhasabah ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
* Jenis yang pertama: Sebelum
beramal, yaitu dengan berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan
jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan
atau tidaknya. Al-Hasan berkata: "Semoga Allah merahmati seorang hamba
yang berdiam sejenak ketika terdetik dalam fikirannya suatu hal, jika itu
adalah amalan ketaatan pada Allah, maka ia melakukannya, sebaliknya jika bukan,
maka ia tinggalkan".
* Jenis yang kedua:
Introspeksi diri setelah melakukan perbuatan. Ini ada tiga jenis:
1. Mengintrospeksi ketaatan
berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga
muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang
dikehendaki-Nya atau belum ?
2. Introspeksi diri terhadap setiap
perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya.
3. Introspeksi diri tentang perkara
yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan? Apakah ia
mengharapkan Wajah Allah dan negeri akherat? Sehingga (dengan demikian) ia akan
beruntung, atau ia ingin dunia yang fana? Sehingga iapun merugi dan tidak
mendapat keberuntungan.
·
Muhasabah
memiliki dampak positif dan manfaat yang luar biasa, antara lain:
1.
Mengetahui aib sendiri. Barangsiapa
yang tidak memeriksa aib dirinya, maka ia tidak akan mungkin menghilangkannya.
1.
Dengan bermuhasabah, seseorang akan
kritis pada dirinya dalam menunaikan hak Allah. Demikianlah keadaan kaum salaf,
mereka mencela diri mereka dalam menunaikan hak Allah. Imam Ahmad meriwayatkan
dari Abu Darda y bahwa beliau berkata: "Seseorang itu tidak dikatakan
faqih dengan sebenar-benarnya sampai ia menegur manusia dalam hal hak Allah,
lalu ia gigih mengoreksi dirinya.
Berkata Muhammad bin Wasi' rahimahullah
dengan nada merendah diri, padahal beliau adalah seorang ahli ibadah:
"Seandainya dosa berbau, tentu tidak ada yang betah duduk bersamaku"
Ibnul Qayyim rahimahullah
berkata: "Mencela diri dalam Dzat Allah adalah termasuk sifat shiddiqin
(orang-orang yang benar), seorang hamba akan dekat dengan Allah Ta'ala
dalam sekejap, berlipat-lipat melebihi dekatnya melalui amalnya".
Berkata Abu Bakar As-Shiddiq y:
"Barangsiapa yang mencela dirinya berkaitan dengan hak Allah (terhadap
dirinya), maka Allah akan memberinya keamanan dari murka-Nya"
1.
Diantara buah dari muhasabah adalah
membantu jiwa untuk muraqabah. Kalau ia bersungguh-sungguh melakukannya di masa
hidupnya, maka ia akan beristirahat di masa kematiannya. Apabila ia mengekang
dirinya dan menghisabnya sekarang, maka ia akan istirahat kelak di saat
kedahsyatan hari penghisaban.
1.
Diantara buahnya adalah akan terbuka
bagi seseorang pintu kehinaan dan ketundukan di hadapan Allah.
5. Manfaat paling besar yang akan
diperoleh adalah keberuntungan masuk dan menempati Surga Firdaus serta
memandang Wajah Rabb Yang Mulia lagi Maha Suci. Sebaliknya jika ia
menyia-nyiakannya maka ia akan merugi dan masuk ke neraka, serta terhalang dari
(melihat) Allah dan terbakar dalam adzab yang pedih.
Tidak mengintrospeksi diri dan
menyia-nyiakannya akan membawa kerugian yang besar. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah:
"Yang paling berbahaya adalah sikap tidak mengindahkan, tidak mau muhasabah,
dan menggampangkan urusan, karena ini akan menyampaikan pada kebinasaan.
Demikianlah keadaan orang-orang yang tertipu, ia menutup matanya dari akibat
(perbuatan) dan hanya mengandalkan ampunan, sehingga ia tidak mengintrospeksi
dirinya dan memikirkan kesudahannya. Jika ia melakukan hal ini, akan mudah
baginya untuk terjerumus dalam dosa dan ia akan senang melakukannya, serta
berat untuk meninggalkannya. Seandainya ia berakal, tentulah ia sadar bahwa
mencegah itu lebih mudah ketimbang berhenti dan meninggalkan kebiasaan.
Jika engkau selalu menuruti nafsu
dalam setiap kelezatan
Engkau akan lupa ….
Jika engkau senantiasa memenuhi
seruan hawa nafsu
Ia akan menyeretmu pada perbuatan
buruk dan haram
Maka bertakwalah pada Allah wahai
hamba Allah, introspeksilah dirimu, karena baik dan selamatnya hati adalah
dengan muhasabah, sebaliknya rusaknya adalah dengan sebab tidak
mengindahkan dan bergelimang dalam kelezatan nafsu serta syahwat serta
mengenyampingkan perkara yang bisa menyempurnakannya. Maka berhati-hatilah dari
hal itu, niscaya diri kalian akan mulia dan berbahagia di saat berjumpa dengan
Tuhan kalian (Allah). Semoga shalawat dan salam tetap tercurah pada nabi kita
Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.
http://indonesian.iloveallaah.com/muhasabah-introspeksi-diri/
Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupa
Dalam perjalanan hidup di dunia,
tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat
hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan
manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi
kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh
Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada
manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku
dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke
arah yang lebih baik.
Introspeksi, Pintu untuk
Mengoreksi Diri
Di dalam kitab Shahih-nya,
imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan
Abu az-Zinad,
إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا
على خلاف الرأي
“
Sesungguhnya mayoritas sunnah dan
kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan
beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena
bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah
dakwah tauhid yang
ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan
keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum
musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu
selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh
meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan
kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at
menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad
yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata
dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan
kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah
meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak
lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari
penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh
(telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh
dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk
berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah
jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat
memberikan alasan kepada nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ،
وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا،
سُحْقًا
“Mereka telah mengganti-ganti
(ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau
begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk
melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang
ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah
an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai
dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan
perbuatan.
Sarana-sarana untuk Mengevaluasi
Diri
Diantara sarana yang dapat membantu
seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak
lain
Seorang dapat terbantu untuk
mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari
kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar
kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran.
Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau
dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun
menerima dan mengatakan,
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي
فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
“Umar senantiasa membujukku
untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan
hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan
pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang
lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang
memiliki pendapat berbeda.
Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih
Salah satu sarana bagi seorang
muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih
untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang
solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi
peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran
kita tidak lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam, padahal beliau bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ،
أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
“Sesungguhnya aku hanyalah
manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya,
ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan
mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu
adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh
karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman
dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin
(kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan
saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ
خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ
أَعَانَهُ
“Jika Allah menghendaki
kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang
pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan
akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini
disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab
radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah
bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada
Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ
اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ
العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ،
وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا
عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
“
Wahai amir al-Mukminin,
sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan
yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk
orang yang bodoh”. Perawi hadits
ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena
ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. Bukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan
dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih
menjalankan perannya.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah
Salah satu bentuk evaluasi diri
yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi
berbagai amalan yang telah dilakukan.
Diriwayatkan dari Umar bin
al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ
تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
“Koreksilah diri kalian sebelum
kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada
hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
Diriwayatkan dari Maimun bin
Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا
حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
“Hamba tidak dikatakan bertakwa
hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR.
Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya
orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk
kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan
kebatilan.
Faedah Mengintrospeksi Diri
Mengintrospeksi diri memiliki
beberapa faedah, yaitu:
Pertama, musibah terangkat dan hisab
diringankan
Pada lanjutan atsar Umar di atas
disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari
kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu
mengatakan,
وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ
القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
“Sesungguhnya hisab pada hari
kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat
hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].
Ketika berbagai kerusakan telah
merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut adalah
dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu
alaihi wa sallam,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ،
وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ
الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا
إِلَى دِينِكُمْ
“
Apabila kamu berjual beli
dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha
dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya
Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai
kalian kembali kepada ajaran agama”
Dalam riwayat lain, disebutkan
dengan lafadz,
حتى يراجعوا دينهم
“Hingga mereka mengoreksi
pelaksanaan ajaran agama mereka” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Anda dapat memperhatikan bahwa
rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal terangkatnya
musibah dan
kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan
mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi
jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan
mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana
(dunia). Dalam sebuah
hadits
yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “
Suatu ketika seorang raja yang
hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia
menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal
dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada
Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju
kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian,
raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan
keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang
raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan
juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan
mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah
kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua
untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah
dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi
hakikat kondisi mereka.
Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama
manusia
Introspeksi dan koreksi diri merupakan
kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ
يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ
بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ،
فَيُقَالُ: أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya pintu-pintu surga
dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni
kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan,
“Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya
shahih. HR. Ahmad].
Menurut anda, bukankah penangguhan
ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan
untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk berdamai?
Keempat, terbebas dari sifat nifak
Sering mengevaluasi diri untuk
kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang
dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,
مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي
إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا
“Tidaklah diriku membandingkan
antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku
adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).”
Ibnu Abi Malikah juga berkata,
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ
أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ
النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ
جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
“Aku menjumpai 30 sahabat Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas
diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya
seperti keimanan Jibril dan Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu
Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,
إِنَّمَا خَافُوا لِأَنَّهُمْ
طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا لَمْ يَعْهَدُوهُ
وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا
بِالسُّكُوتِ
“Mereka khawatir karena telah
memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak
mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika
mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari
1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim
sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan
bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di
dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya
sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala
berfirman,
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا
ما بأنفسهم
“Allah tidak akan mengubah
kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).
Manusia merupakan makhluk yang
lemah, betapa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap yang
berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama
dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga
melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran
merupakan perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat
kepada-Nya.
Disadur dari artikel
al-Muraja’ah wa at-Tashhih
Tips Bermuhasabah (Introspeksi diri)
Tahun baru adalah saat-saat yang
tepat bagi kita untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Gunakanlah
pergantian tahun sebagai momen yang tepat untuk melakukan perubahan diri.
Beberapa tips untuk melakukan muhasabah yang baik adalah sebagai berikut:
1.
Carilah tempat yang tanpa gangguan
untuk muhasabah, misalnya di kamar yang sepi, atau di masjid, atau di tempat
yang kita agak asing di situ.
2.
Bawa alat tulis dan buku khusus
muhasabah. Ini penting, agar kelak, beberapa bulan ke depan atau beberapa tahun
ke depan jika suatu saat kita ingin mengukur sejauh mana perubahan telah
terjadi dalam diri kita, kita dapat melihatnya dari buku itu.
3.
Berdo’a kepada Allah SWT dan
mohonkan ampunan-Nya, kemudian mohonlah agar dapat memuhasabah diri sebagai
ikhtiar memperbaiki diri.
4.
Renungkan berbagai kekurangan kita
dalam beribadah kepada Allah SWT, baik dalam muamalah kepada sesama ataupun
berbagai aspek lain dalam hidup kita. Gunakan pertimbangan ukhrowi saat
merenungkan, maksudnya renungkanlah akibat perbuatan kita dari sisi Allah,
bukan hanya dari sisi duniawi saja. Catatlah renungan di buku kita itu. Jangan
malu menuliskan kekurangan kita. Format bebas sesuai kesukaan masing-masing.
Sebagai contoh, bisa dibagi kertas itu dalam 2 bagian. Bagian yang lebar untuk
menuliskan hasil muhasabah kita. bagian yang kecil nanti untuk menuliskan
solusinya.
5.
Setelah merasa cukup menuliskan
semua hal yang kita rasa perlu diperbaiki dalam diri kita, barulah tuliskan
solusi-solusinya di kertas bagian kanan di buku khusus kita itu. Buatlah solusi
yang riil (terjangkau) yang dapat kita lakukan dalam waktu dekat. Bisa harian
atau mingguan. Setiap kita pastilah memiliki solusi-solusi yang berbeda
bergantung dengan cara pandang, pola pikir, dan wawasan kita.
6.
Setelah usai membuat solusi, bacalah
ulang semua yang telah kita tulis tadi. Azzamkan/ teguhkan dalam diri kita
bahwa kita akan menjalankan solusi-solusi riil itu.
7.
Perbanyaklah ibadah dan ketaatan
pada Allah SWT dengan terus berdo’a agar memperbaiki diri kita dan meneguhkan
semua ikhtiar kita dalam menuju ridho-Nya. Mintalah bantuannya ketika kita
butuh bantuan diikuti dengan ikhtiar sebagai salah satu syarat terkabulnya do’a
kita itu. Ikutilah setiap kesalahan atau perbuatan buruk yang kita perbuat
dengan perbuatan baik. Lakukan terus menerus perbuatan baik yang dicintai Allah
SWT sebanyak-banyaknya.
8.
Evaluasilah hasil kita dalam jangka
waktu tertentu. bisa per 3 hari, lalu per minggu, dan per bulan. Lakukan dengan
konsisten dengan terus meningkatkan kapasitas “solusi” yang kita buat. Terus
perbaiki yang kurang dalam diri, dengan terus memohon kepada Allah SWT.
9.
Jika gagal, bangkit lagi, gagal,
bangkit lagi, dan terus bangkit. jangan sampai kita menyerah karena menyerah
berarti lari dari rahmat Allah SWT.
Semoga dengan muhasabah yang baik
kita akan menjadi hamba-Nya yang makin mendekat kepada-Nya, mendekat pada
syafaat Rasulullah SAW dan pada akhirnya, mendekat pada surga-Nya, baik di dunia
maupun di akhirat. Amin.
Wallahu’alam bisshawab.
Introspeksi Diri
(ditulis oleh: Al-Ustadz Zainul Arifin)
Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t
berkata:
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya
hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah I semata.”
“Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih
ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih
di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat
memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak
diperhitungkan.”
“Sesungguhnya seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya
maka dia pun berbisik: ‘Demi Allah, sungguh aku benar-benar sangat
menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi
Allah, tiada (alasan syar’i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka
menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu’.”
“Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera
dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku maukan
dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur
(alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi
lagi selama-lamanya, insya Allah’.”
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al
Qur`an dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur`an serta
berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka.”
“Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu)
berusaha untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari
sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan
dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari
dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling
diutamakan.”
(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan
Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)
Kehancuran Seorang Hamba karena Kurangnya Munasabah Binafsihi
(Introspeksi Diri)
Indeks
> Artikel
> Kolom
Gus > Kehancuran Hamba Tanpa Introspeksi Diri 11jan20
Awal malapetaka dan kehancuran
seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar
bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah
yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.
Sifat ini ditandai dengan
ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan
melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang
lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.
Padahal, kebaikan hanya bisa
terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan
mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran
dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan
oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.
Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat
melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk
menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah
langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata,
قَالَا
رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ
مِنَ ٱلْخَٟسِرِينَ ﴿٢٣﴾
"Ya, Tuhan kami, kami
telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi
rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS
Al-A'raf [7]: 23).
Demikian pula dengan Nabi Yunus AS
saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan
siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan
Tuhan-Nya. Ia berkata,
وَذَا
ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٟضِبًۭا فَظَنَّ أَن
لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٟتِ
أَن لَّآ إِلَٟهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٟنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٟلِمِينَ ﴿٨٧﴾
"Tidak ada Tuhan selain
Engkau. Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk orang-orang yang
zalim." (QS Al-Anbiya [21]: 87).
Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu
membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran
yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus
selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda,
"Wahai, manusia, bertobatlah
dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak
seratus kali." (HR Muslim).
Begitulah sikap arif para nabi yang
patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna,
bersih, dan suci. Allah SWT berfirman,
ٱلَّذِينَ
يَجْتَنِبُونَ كَبَٟٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٟحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ
وَٟسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ
ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌۭ
فِى بُطُونِ أُمَّهَٟتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوٓا۟
أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ ﴿٣٢﴾
"Janganlah kamu mengatakan
dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa." (QS
Annajm [53]: 32).
Mari kita mau simak isi Syi'iran
Gus Dur yang menyindir orang-orang yang selalu congkak merasa dirinya paling
benar dan merasa sudah pintar dengan disebabkan mereka hafal Qur'an dan Hadits
sehingga berani mengkafirkan atau mengecap musyrik orang lain yang tidak
sefaham dengan dirinya sedang mereka tidak pernah mengoreksi dirinya sendiri,
sebagaimana tembang berikut:
Akeh kang apal, Qur'an hadits'e
Seneng ngafirke marang liyane ...
Kafire dewe dak digateke
Yen isih kotor ati-akale ...
(Banyak yang hafal, Qur'an hadits
Senang mengkafirkan orang lain
Kekafirannya sendiri tidak diperhatikan
Sesungguhnya masih kotor hati-akalnya) ...
Karena itu, daripada mengarahkan
telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri.
Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat
aib sendiri. Orang yang pandai adalah orang yang bisa memanfaatkan ilmunya
untuk mengoreksi amal perbuatan diri sendiri, bukan orang yang suka mengoreksi
amal perbuatan orang lain akan tetapi kesalahan serta kekurangannya tidak
pernah dikoreksinya. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda,
"Beruntunglah orang yang sibuk
melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain."
http://pesantren.web.id/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/kolom_gus/kehancuran_hamba_tanpa_introspeksi_diri-11jan20.single
http://muhammad-falikh.blogspot.com/2012/05/pengertian-makna-dan-hakikat-muhasabah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar