Senin, 31 Desember 2012

2012 2013

Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh.
10 Kerusakan dalam Perayaan Tahun Baru
Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga walaupun sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun. Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? Simak dalam bahasan singkat berikut.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1]
Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam. Perayaan tahun baru terjadi pada pergantian tahun kalender Gregorian yang sejak dulu telah dirayakan oleh orang-orang kafir.
Secara lebih rinci, berikut adalah beberapa kerusakan yang terjadi seputar perayaan tahun baru masehi.
Kerusakan Pertama: Merayakan Tahun Baru Berarti Merayakan 'Ied (Perayaan) yang Haram
Perlu diketahui bahwa perayaan ('ied) kaum muslimin hanya ada dua yaitu 'Idul Fithri dan 'Idul Adha. Anas bin Malik mengatakan, Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, Dulu kalian memiliki dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan Idul Adha.[2]
Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah menjelaskan bahwa perayaan tahun baru itu termasuk merayakan ied (hari raya) yang tidak disyariatkan karena hari raya kaum muslimin hanya ada dua yaitu Idul Fithri dan Idul Adha. Menentukan suatu hari menjadi perayaan (ied) adalah bagian dari syariat (sehingga butuh dalil).[3]
Kerusakan Kedua: Merayakan Tahun Baru Berarti Tasyabbuh (Meniru-niru) Orang Kafir
Merayakan tahun baru termasuk meniru-niru orang kafir. Dan sejak dulu Nabi kita shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mewanti-wanti bahwa umat ini memang akan mengikuti jejak orang Persia, Romawi, Yahudi dan Nashrani. Kaum muslimin mengikuti mereka baik dalam berpakaian atau pun berhari raya.
Dari Abu Sa'id Al Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang penuh lika-liku, pen), pasti kalian pun akan mengikutinya. Kami (para sahabat) berkata, Wahai Rasulullah, Apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani? Beliau menjawab, Lantas siapa lagi?[4]
Lihatlah apa yang dikatakan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang beliau katakan benar-benar nyata saat ini. Berbagai model pakaian orang barat diikuti oleh kaum muslimin, sampai pun yang setengah telanjang. Begitu pula berbagai perayaan pun diikuti, termasuk pula perayaan tahun baru ini.
Ingatlah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam secara tegas telah melarang kita meniru-niru orang kafir (tasyabbuh). Beliau bersabda, Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka[5] [6]
Kerusakan Ketiga: Merekayasa Amalan yang Tanpa Tuntunan di Malam Tahun Baru
Kita sudah ketahui bahwa perayaan tahun baru ini berasal dari orang kafir dan merupakan tradisi mereka. Namun sayangnya di antara orang-orang jahil ada yang mensyari'atkan amalan-amalan tertentu pada malam pergantian tahun.
Daripada waktu kaum muslimin sia-sia, mending malam tahun baru kita isi dengan dzikir berjama'ah di masjid. Itu tentu lebih manfaat daripada menunggu pergantian tahun tanpa ada manfaatnya, demikian ungkapan sebagian orang. Ini sungguh aneh. Pensyariatan semacam ini berarti melakukan suatu amalan yang tanpa tuntunan. Perayaan tahun baru sendiri adalah bukan perayaan atau ritual kaum muslimin, lantas kenapa harus disyari'atkan amalan tertentu ketika itu? Apalagi menunggu pergantian tahun pun akan mengakibatkan meninggalkan berbagai kewajiban sebagaimana nanti akan kami utarakan.
Jika ada yang mengatakan, Daripada menunggu tahun baru diisi dengan hal yang tidak bermanfaat (bermain petasan dan lainnya), mending diisi dengan dzikir. Yang penting kan niat kita baik. Maka cukup kami sanggah niat baik semacam ini dengan perkataan Ibnu Masud ketika dia melihat orang-orang yang berdzikir, namun tidak sesuai tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Orang yang melakukan dzikir yang tidak ada tuntunannya ini mengatakan pada Ibnu Masud, Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman (Ibnu Masud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan. Ibnu Masud lantas berkata, Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun mereka tidak mendapatkannya.[7]
Jadi dalam melakukan suatu amalan, niat baik semata tidaklah cukup. Kita harus juga mengikuti contoh dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baru amalan tersebut bisa diterima di sisi Allah.
Kerusakan Keempat: Mengucapkan Selamat Tahun Baru yang Jelas Bukan Ajaran Islam
Komisi Fatwa Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah ditanya, Apakah boleh mengucapkan selamat tahun baru Masehi pada non muslim, atau selamat tahun baru Hijriyah atau selamat Maulid Nabi shallallahu alaihi wa sallam?  Al Lajnah Ad Daimah menjawab, Tidak boleh mengucapkan selamat pada perayaan semacam itu karena perayaan tersebut adalah perayaan yang tidak masyru (tidak disyariatkan dalam Islam).[8]
Kerusakan Kelima: Meninggalkan Shalat Lima Waktu
Betapa banyak kita saksikan, karena begadang semalam suntuk untuk menunggu detik-detik pergantian tahun, bahkan begadang seperti ini diteruskan lagi hingga jam 1, jam 2 malam atau bahkan hingga pagi hari, kebanyakan orang yang begadang seperti ini luput dari shalat Shubuh yang kita sudah sepakat tentang wajibnya. Di antara mereka ada yang tidak mengerjakan shalat Shubuh sama sekali karena sudah kelelahan di pagi hari. Akhirnya, mereka tidur hingga pertengahan siang dan berlalulah kewajiban tadi tanpa ditunaikan sama sekali. Naudzu billahi min dzalik. Ketahuilah bahwa meninggalkan satu saja dari shalat lima waktu bukanlah perkara sepele. Bahkan meningalkannya para ulama sepakat bahwa itu termasuk dosa besar.[9] Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga mengancam dengan kekafiran bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat lima waktu. Buraidah bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.[10] Oleh karenanya, seorang muslim tidak sepantasnya merayakan tahun baru sehingga membuat dirinya terjerumus dalam dosa besar.
Kerusakan Keenam: Begadang Tanpa Ada Hajat
Begadang tanpa ada kepentingan yang syar'i dibenci oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Termasuk di sini adalah menunggu detik-detik pergantian tahun yang tidak ada manfaatnya sama sekali. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat 'Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.[11]
Ibnu Baththol menjelaskan, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah shalat 'Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir jika sampai luput dari shalat shubuh berjama'ah. 'Umar bin Al Khottob sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau mengatakan, Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir malam tertidur lelap?![12] Apalagi dengan begadang ini sampai melalaikan dari sesuatu yang lebih wajib (yaitu shalat Shubuh)?!
Kerusakan Ketujuh: Terjerumus dalam Zina
Jika kita lihat pada tingkah laku muda-mudi saat ini, perayaan tahun baru pada mereka tidaklah lepas dari ikhtilath (campur baur antara pria dan wanita) dan berkholwat (berdua-duan), bahkan mungkin lebih parah dari itu yaitu sampai terjerumus dalam zina dengan kemaluan. Inilah yang sering terjadi di malam tersebut dengan menerjang berbagai larangan Allah dalam bergaul dengan lawan jenis. Inilah yang terjadi di malam pergantian tahun dan ini riil terjadi di kalangan muda-mudi.
Kerusakan Kedelapan: Mengganggu Kaum Muslimin
Merayakan tahun baru banyak diramaikan dengan suara mercon, petasan, terompet atau suara bising lainnya. Ketahuilah ini semua adalah suatu kemungkaran karena mengganggu muslim lainnya, bahkan sangat mengganggu orang-orang yang butuh istirahat seperti orang yang lagi sakit. Padahal mengganggu muslim lainnya adalah terlarang sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam, Seorang muslim adalah seseorang yang lisan dan tangannya tidak mengganggu orang lain.[13]
Ibnu Baththol mengatakan, Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, Orang yang baik adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut.[14] Perhatikanlah perkataan yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut yang kecil saja dilarang disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kerusakan Kesembilan: Melakukan Pemborosan yang Meniru Perbuatan Setan
Perayaan malam tahun baru adalah pemborosan besar-besaran hanya dalam waktu satu malam. Jika kita perkirakan setiap orang menghabiskan uang pada malam tahun baru sebesar Rp.1000 untuk membeli mercon dan segala hal yang memeriahkan perayaan tersebut, lalu yang merayakan tahun baru sekitar 10 juta penduduk Indonesia, maka hitunglah berapa jumlah uang yang dihambur-hamburkan dalam waktu semalam? Itu baru perkiraan setiap orang menghabiskan Rp. 1000, bagaimana jika lebih dari itu?! Padahal Allah Taala telah berfirman (yang artinya), Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan. (QS. Al Isro: 26-27).
Kerusakan Kesepuluh: Menyia-nyiakan Waktu yang Begitu Berharga
Merayakan tahun baru termasuk membuang-buang waktu. Padahal waktu sangatlah kita butuhkan untuk hal yang manfaat dan bukan untuk hal yang sia-sia. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah memberi nasehat mengenai tanda kebaikan Islam seseorang, Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya.[15] Semoga kita merenungkan perkataan Ibnul Qoyyim, (Ketahuilah bahwa) menyia-nyiakan waktu lebih jelek dari kematian. Menyia-nyiakan waktu akan memutuskanmu (membuatmu lalai) dari Allah dan negeri akhirat. Sedangkan kematian hanyalah memutuskanmu dari dunia dan penghuninya.[16]
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Taala berfirman (yang artinya), Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? (QS. Fathir: 37). Qotadah mengatakan, Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.[17] Wallahu walliyut taufiq.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.remajaislam.com
http://remajaislam.com/islam-dasar/nasehat/88-10-kerusakan-dalam-perayaan-tahun-baru.html

 Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh.
Hukum Mengucapkan Selamat Tahun Baru
Soal:
Apa hukum ucapan selamat tahun baru yang dikerjakan oleh sebagian orang seperti seseorang mengatakan kepada lainnya: Sepanjang tahun semoga kalian dalam keadaan baik, dan semacamnya.
Jawab:
Ucapan selamat pada awal tahun baru tidak dikenal bagi salaf (generasi terdahulu dalam Islam), makanya lebih utama ditinggalkan, tetapi seandainya seseorang mengucapi selamat kepada orang lain dalam bentuk bahwa tahun yang telah lalu itu dihabiskan dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla, lalu diucapi selamat karena panjang umurnya dalam ketaatan kepada Allah, maka ini tidak mengapa. Karena sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya dan baik amalnya. Tetapi ucapan selamat ini hanya khusus pada awal tahun Hijriyah. Adapaun awal tahun Miladiyah (Masehi) maka sesesungguhnya tidak boleh mengucapi selamat dengannya, karena ia bukan tahun syari, bahkan apabila orang-orang kafir diucapi selamat dengannya atas hari rayanya maka orang ini dalam keadaan bahaya besar kalau mengucapi selamat kepada mereka dengan hari-hari raya kekafiran. Karena ucapan selamat dengan hari-hari raya kekafiran itu berarti senang dengannya dan menambahi (kesenangan mereka), sedangkan senang dengan hari-hari raya kekafiran itu bisa-bisa mengeluarkan manusia dari lingkaran Islam, sebagaimana Ibnul Qayyim rahimahullah telah menyebutkan hal itu dalam kitabnya Ahkamu Ahlidz Dzimmah.
Ringkas kata, ucapan selamat pada awal tahun Hijriyah, lebih baik ditinggalkan, tak diragukan lagi. Karena hal itu bukan dari (kebiasaan) masa salaf (dahulu). Kalau dikerjakan oleh seseorang maka tidak berdosa. Adapun ucapan selamat pada awal tahun baru Miladiyah (Masehi) maka tidak boleh. (    , Syekh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Liqoatul Babil Maftuh, juz 112 halaman 6).
***
Teks fatwa komplitnya:
    :
______________
:     ,       :     
______________
:        ,   ,                             ,        ,         ,                               ,       ,         ,            .  :              ,     ,      .
    ( 112 /  6)
Ilustrasi: ar-rahman.com
(nahimunkar.com)
http://nahimunkar.com/18274/hukum-mengucapkan-selamat-tahun-baru-2/

Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh.
Tahun Baru Masehi: Tradisi Berhala yang Tanpa Dasar
Cyber Sabili. Tiap kali menjelang malam pergantian tahun (Kalender Masehi), milyaran orang di penjuru dunia merayakannya. Tiupan terompet, pesta kembang api, hingar bingar pertunjukkan musik, pesta pora di hotel-hotel berbintang atau tempat wisata, hingga ucapan "Selamat Tahun Baru" atau "Happy New Year" berkumandang di mana-mana.
Tapi, tak banyak yang mengetahui sejarah di balik perayaan tahun baru masehi ini.  Apa sebenarnya dasar penentuan perayaan tahun baru?
Perayaan tahun baru merupakan yang tertua di antara hari-hari libur lainnya yang diakui dunia internasional. Penelusuran awal mula perayaan tahun baru membawa kita ke zaman Kerajaan Babilonia Kuno, sekitar 4.000 tahun lalu.
Sekitar tahun 2.000 SM, Tahun Baru Babilonia mulai dirayakan bertepatan dengan dimulainya Bulan Baru (New Moon) yang pertama. Bulan ini ditandai dengan nampaknya bulan sabit yang  pertama setelah peristiwa Vernal Equinox (hari pertama musim semi).
Awal musim semi dianggap sebagai waktu yang logis untuk memulai sebuah tahun baru. Pasalnya, saat itu adalah musim kelahiran kembali, musim menanam tanaman baru, dan musim berbunga bagi tumbuhan.
Perayaan Tahun Baru Babilonia ini, berlangsung selama sebelas hari. Masing-masing hari memiliki bentuk perayaannya sendiri yang khas.
Belakangan, Bangsa Romawi juga meneruskan tradisi Tahun Baru Bangsa Babilonia yang jatuh tiap bulan Maret ini.
Salah satu tradisi penting dari perayaan tahun baru adalah membuat resolusi. Tradisi ini juga bermula dari Bangsa Babilonia Kuno.
Tahukah Anda, apa resolusi tahun baru yang paling populer saat itu? Resolusi paling umum dari orang-orang Babilonia Kuno adalah mengembalikan alat-alat pertanian yang mereka pinjam.
Tapi pada saat bersamaan, perubahan perhitungan kalender yang terjadi terus-menerus sebagai akibat dari berganti-gantinya penguasa menyebabkan perhitungan kalender Babilonia dan Romawi ini tidak sinkron lagi dengan matahari.
Untuk menyelesaikan ketidakcocokan kalender ini, pada tahun 153 SM, Senat Romawi menetapkan tanggal 1 Januari sebagai awal tahun baru. Meski begitu, kekisruhan kalender tetap berlanjut.
Pada masa Julius Caesar, tahun 46 SM menetapkan apa yang kemudian kita kenal sebagai Kalender Julian. Kalender ini tetap menempatkan 1 Januari sebagai awal tahun baru,
Agar kalender ini benar-benar sinkron dengan matahari, Julius Caesar perlu mengubah perhitungan tahun sebelumnya menjadi lebih panjang, yakni 445 hari. Padahal normalnya hanya 365 hari.
Meski begitu, pada abad-abad pertama Masehi, Bangsa Romawi tetap melanjutkan perayaan tahun barunya pada bulan Maret, bukan 1 Januari,
Gereja, pada saat itu mengutuk perayaan tahun baru bulan Maret maupun 1 Januaari karena dianggap sebagai ritual pagan (penyembahan terhadap berhala).
Tapi ketika Kristen kian berkembang, gereja awalnya memiliki pandangan religius sendiri tentang beberapa tradisi pagan yang berlangsung di masyarakat, salah satunya adalah perayaan tahun baru.
Bagi beberapa denominasi tertentu di dalam Kristen, perayaan tahun baru dipandang sebagai bagian dari memperingati peristiwa penyunatan Kristus.
Pada abad pertengahan Masehi, gereja tetap dengan pendiriannya menolak perayaan tahun baru. Baru pada 400 tahun belakanganlah, tiap 1 Januari dirayakan sebagai hari libur oleh bangsa-bangsa Barat.
Jadi, tanggal 1 Januari, yang dirayakan milyaran orang di seluruh dunia, tidak memiliki dasar ilmiah, astronomi, atau agrikultural apapun, Tapi hanyalah sebuah tradisi tanpa dasar yang kuat (arbitrer).
Lantas, kenapa kita merayakannya? Merayakan untuk apa dan siapa? Berhala? Naudubillah mindzalik. (Dari Berbagai Sumber/Dwi H).
http://www.sabili.co.id/tajuk-sabili/tahun-baru-masehi-tradisi-berhala-yang-tanpa-dasar

Mengenal Asal Usul Sejarah 1 Januari Sebagai Perayaan Tahun Baru
Qs 17:36
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda :
Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.
Merujuk pada Ayat dan hadits di atas, maka alangkah baiknya kalau kita seharusnya tabayun (kroscek) dahulu asal muasal dari perayaan tahun baru masehi.
Kenapa harus 1 Januari? Dan budaya dari kaum apakah perayaan tersebut?
Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak oleh ketidaktahuan kita yang akan menyebabkan kita terlempar ke dalam kesesatan.
Sejarah Tahun Baru 1 Januari
Mari kita buka The World Book Encyclopedia tahun 1984, volume 14, halaman 237.
The Roman ruler Julius Caesar established January 1 as New Years Day in 46 BC. The Romans dedicated this day to Janus , the god of gates, doors, and beginnings. The month of January was named after Janus, who had two faces  one looking forward and the other looking backward.
terjemahan bebasnya kurang lebih begini :
Penguasa Romawi Julius Caesar menetapkan 1 Januari sebagai hari permulaan tahun baru semenjak abad ke 46 SM. Orang Romawi mempersembahkan hari ini (1 Januari) kepada Janus, dewa segala gerbang, pintu-pintu, dan permulaan (waktu). Bulan Januari diambil dari nama Janus sendiri, yaitu dewa yang memiliki dua wajah  sebuah wajahnya menghadap ke (masa) depan dan sebuahnya lagi menghadap ke (masa) lalu.,
Perayaan Tahun di beberapa Negara terkait dengan Ritual Keagamaan
Bulan Januari (bulannya Janus) juga ditetapkan setelah Desember dikarenakan Desember adalah pusat Winter Soltice, yaitu hari-hari dimana kaum pagan penyembah Matahari merayakan ritual mereka saat musim dingin. Pertengahan Winter Soltice jatuh pada tanggal 25 Desember, dan inilah salah satu dari sekian banyak pengaruh Pagan pada budaya kristen selain penggunaan lambang Salib Tanggal 1 Januari sendiri adalah seminggu setelah pertengahan Winter Soltice, yang juga termasuk dalam bagian ritual dan perayaan Winter Soltice dalam Paganisme.
tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan merekayang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai tanda penghormatan terhadap sang dewa LemanjaDewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sosok dewa Janus dalam mitologi Romawi
Dewa Janus sendiri adalah sesembahan kaum Pagan Romawi, dan pada peradaban sebelumnya di Yunani telah disembah sosok yang sama bernama dewa Chronos. Kaum Pagan, atau dalam bahasa kita disebut kaum kafir penyembah berhala, hingga kini biasa memasukkan budaya mereka ke dalam budaya kaum lainnya, sehingga terkadang tanpa sadar kita mengikuti mereka. Sejarah pelestarian budaya Pagan (penyembahan berhala) sudah ada semenjak zaman Hermaic (3600 SM) di Yunani
Kaum Pagan sendiri biasa merayakan tahun baru mereka (atau Hari Janus) dengan mengitari api unggun, menyalakan kembang api, dan bernyanyi bersama. Kaum Pagan di beberapa tempat di Eropa juga menandainya dengan memukul lonceng atau meniup terompet.
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Years Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh.
Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa , tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Bagi orang Persia yang beragama Majs (penyembah api), menjadikan tanggal 1 Januari sebagai hari raya mereka yang dikenal dengan hari Nairuz atau Nurus.
Penyebab mereka menjadikan hari tersebut sebagai hari raya adalah, ketika Raja mereka, Tumarat wafat, ia digantikan oleh seorang yang bernama Jamsyad, yang ketika dia naik tahta ia merubah namanya menjadi Nairuz pada awal tahun. Nairuz sendiri berarti tahun baru. Kaum Majs juga meyakini, bahwa pada tahun baru itulah, Tuhan menciptakan cahaya sehingga memiliki kedudukan tinggi.
Kisah perayaan mereka ini direkam dan diceritakan oleh al-Imm an-Nawaw dalam buku Nihyatul Arob dan al-Muqriz dalam al-Khuthoth wats Tsr. Di dalam perayaan itu, kaum Majs menyalakan api dan mengagungkannya karena mereka adalah penyembah api. Kemudian orang-orang berkumpul di jalan-jalan, halaman dan pantai, mereka bercampur baur antara lelaki dan wanita, saling mengguyur sesama mereka dengan air dan khomr (minuman keras). Mereka berteriak-teriak dan menari-nari sepanjang malam. Orang-orang yang tidak turut serta merayakan hari Nairuz ini, mereka siram dengan air bercampur kotoran. Semuanya dirayakan dengan kefasikan dan kerusakan.
Bagaimana sikap kita?
Setelah kita mengetahui bahwa tradisi Perayaan 1 januari merupakan Perayaan yang terkait dengan ritual keagamaan dan budaya dari kufar ,dan adanya larangan untuk menyerupai sebuah kaum.
maka sebaiknya kita tidak perlu ikut ikutan merayakannya apalagi meniru budaya dari kaum kufar.
semoga kita semua senantiasa ingat Firman Allah ini :

               

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya
hadts yang melarang menyepakati perayaan kaum kuffr banyak sekali. Diantaranya adalah :

         :               :    :     .         : (          )
Dari Anas bin Mlik radhiyallhu anhu beliau berkata : Raslullh Shallllhu alahi wa Sallam tiba di Madnah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, dua hari apa ini?. Mereka menjawab, Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah. Raslullh Shallllhu alaihi wa Sallam mengatakan : Sesungguhnya Allh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhh dan idul fithri. [Shahh riwayat Imm Ahmad, Ab Dwud, an-Nas` dan al-Hkim.]
Syaikhul Islm Ibnu Taimiyah rahimahullhu berkata :
                                           .
Sisi pendalilan hadts di atas adalah, bahwa dua hari raya jahiliyah tersebut tidak disetujui oleh Raslullh Shallllhu alaihi wa Sallam dan Raslullh tidak meninggalkan (memperbolehkan) mereka bermain-main di dalamnya sebagaimana biasanya. Namun beliau menyatakan bahwa sesungguhnya Allh telah mengganti kedua hari itu dengan dua hari raya lainnya. Penggantian suatu hal mengharuskan untuk meninggalkan sesuatu yang diganti, karena suatu yang mengganti dan yang diganti tidak akan bisa bersatu.
Adapun tsar sahabat dan ulama salaf dalam masalah ini, sangatlah banyak. Diantaranya adalah ucapan Umar radhiyallhu anhu, beliau berkata :

   
Jauhilah hari-hari perayaan musuh-musuh Allh. [Sunan al-Baihaq IX/234].
Abdullh bin Amr radhiyallhu anhum berkata :

                
Barangsiapa yang membangun negeri orang-orang kfir, meramaikan peringatan hari raya nairuz (tahun baru) dan karnaval mereka serta menyerupai mereka sampai meninggal dunia dalam keadaan demikian. Ia akan dibangkitkan bersama mereka di hari kiamat. [Sunan al-Baihaq IX/234].
Imm Muhammad bin Srn berkata :
:   -  -  .  :     :       .  :     .   :    :

Al radhiyallhu anhu diberi hadiah peringatan Nairuz (Tahun Baru), lantas beliau berkata : apa ini?. Mereka menjawab, wahai Amrul Muminn, sekarang adalah hari raya Nairuz. Al menjawab, Jadikanlah setiap hari kalian Fairuz. Usmah berkata : Beliau (Al mengatakan Fairuz karena) membenci mengatakan Nairuz. [Sunan al-Baihaq IX/234].
Imm Baihaq memberikan komentar :

         

Ucapan (Al) ini menunjukkan bahwa beliau membenci mengkhususkan hari itu sebagai hari raya karena tidak ada syariat yang mengkhususkannya.
Apabila demikian ini sikap manusia-manusia terbaik, lantas mengapa kita lebih menerima pendapat dan ucapan orang-orang yang jhil dan mengikuti budaya kaum kuffr daripada ucapan para sahabat yang mulia ini.
Hari Raya Kita Adalah Idul Fithri dan Idul Adhh serta Jumat
Di dalam hadts yang diriwayatkan oleh Ummul Muminn, `isyah ash-Shiddqah binti ash-Shiddq radhiyallhu anhum, beliau menceritakan bahwa ayahanda beliau, Ab Bakr radhiyallhu anhu mengunjungi Raslullh. Kemudian Ab Bakr mendengar dua gadis jriyah menyanyi dan mengingkarinya. Mendengar hal ini,
Raslullh Shallllhu alaihi wa Sallam bersabda :
   !       
Wahai Ab Bakr, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya dan hari raya kita adalah pada hari ini. [HR Bukhr].
Dari hadts di atas, ada dua hal yang bisa kita petik :
Pertama, sabda Raslullh Shallllhu alaihi wa Sallam : Sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya menunjukkan bahwa setiap kaum itu memiliki hari raya sendiri-sendiri.
Hal ini sebagaimana firman Allh Tal :
   
Untuk tiap-tiap (ummat) diantara kalian ada aturan dan jalannya yang terang (tersendiri). [QS al-M`idah : 48].
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allh memberikan aturan dan jalan sendiri-sendiri secara khusus. Kata Lm () pada kata Likullin () menunjukkan makna ikhtishsh (pengkhususan). Apabila orang Yahdi memiliki hari raya dan orang Nashrni juga memiliki hari raya, maka hari-hari raya itu adalah khusus bagi mereka dan tidak boleh bagi kita, kaum muslimin, ikut turut serta dalam perayaan mereka, sebagaimana kita tidak boleh ikut dalam aturan dan jalan mereka.
Kedua, sabda Raslullh Shallllhu alaihi wa Sallam :     (Dan hari raya kita adalah pada hari ini), dalam bentuk marifah (definitif) dengan lm dan idhfah menunjukkan hasyr (pembatasan), yaitu bahwa jenis hari raya kita dibatasi hanya pada hari itu. Dan hari tersebut di sini masuk pada cakupan hari raya dul Fithri dan dul Adhh, seperti dalam perkataan para ulama fikih :
   
Tidak boleh berpuasa pada hari raya.
Maka maksudnya tentu saja, tidak boleh berpuasa pada dua hari raya Idul Fithri dan Idul Adhh.
Dall lainnya adalah hadts Anas bin Mlik :
         :               :    :     .         : (          )
Dari Anas bin Mlik radhiyallhu anhu beliau berkata : Raslullh Shallllhu alahi wa Sallam tiba di Madnah dan mereka memiliki dua hari yang mereka bermain-main di dalamnya. Lantas beliau bertanya, dua hari apa ini?. Mereka menjawab, Hari dahulu kami bermain-main di masa jahiliyah. Raslullh Shallllhu alaihi wa Sallam mengatakan : Sesungguhnya Allh telah menggantikan kedua hari itu dengan dua hari yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari idul adhh dan idul fithri. [Shahh riwayat Imm Ahmad, Ab Dwud, an-Nas` dan al-Hkim.]
Adapun Jumat, maka termasuk hari raya kaum muslimin yang berulang-ulang dalam tiap pekannya. Sehingga dengannya telah cukup bagi kita dan tidak mencari hari-hari perayaan lainnya.
Dall hal ini adalah, sabda Nab yang mulia Shallllhu alahi wa Sallam :

                                           
Alloh simpangkan dari hari Jumat umat sebelum kita, dahulu Yahudi memiliki (hari agung) pada hari Sabtu dan Nashrani pada hari Ahad. Kemudian Allh datangkan kita dan Alloh anugerahi kita dengan hari Jumat, lantas Alloh jadikan hari Jumat, Sabtu dan Ahad. Demikianlah, mereka adalah kaum yang akan mengekor kepada kita pada hari kiamat sedangkan kita adalah umat yang terakhir dari para penduduk dunia namun umat yang awal pada hari kiamat, yang diadili (pertama kali) sebelum makhluk-makhluk lainnya. [HR Muslim]
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu alaihi wa Salam bersabda :

         
Sesungguhnya hari ini adalah hari Ied yang Alloh jadikan bagi kaum Muslimin, barangsiapa yang mendapati hari Jumat hendaknya ia mandi [HR Ibnu Majah dalam Shahih at-Targhib I/298].
Semoga setelah membaca tulisan in,kita bisa menentukan sikap dalam menyikapi perayaan 1 januari sebagai tahun baru.
dan sikap kita bukan atas dasar sekedar ikut ikutan , tetapi pilihan kita adalah yang berdasarkan pengetahuan. karena kita sadar betul bahwa semuanya akan dimintai pertanggungan jawab di Yaumil Hisab kelak.
<a href="http://www.muslim-menjawab.com/2012/12/mengenal-asal-usul-sejarah-1-januari.html">http://www.muslim-menjawab.com/2012/12/mengenal-asal-usul-sejarah-1-januari.html</a>

Huru-hara tutup tahun
(Jakarta, 30/12/2011) Selalu ada yang berbeda dengan bulan kedua-belas pada sistem penanggalan Masehi terhadap bulan-bulan sebelumnya, yaitu suasana yang lebih ramai dan lebih sibuk. Cobalah tengok aktifitas di sekitar terminal bus ibukota misalnya, berduyun-duyun orang untuk masuk ke dalam antrian pembelian karcis luar-kota. Ketika ditanya, mereka rata-rata menjawab bahwa niat pulang kampung kali ini adalah untuk merayakan tahun baru bersama keluarga.
"Habis nggak enak mas tahun baruan sendirian, kayak nggak afdhol, gitu!" Timpal seorang pemuda paruh-baya dengan suara mantap. Sementara ketika melongok daerah pusat perbelanjaan, euphoria justru bertambah semarak lagi. Mulai dari memasuki gerbang utama, pengunjung sudah disuguhi kata-kata sambutan yang terpasang melambai-lambai, "Happy New Year 2012 For All of You!" Dilanjutkan dengan setibanya di arena pertokoan, pengunjung dimanjakan lagi dengan spanduk besar-besar aneka warna, "Discount up 70% Off!", "Buy One Get Some!", atau yang lebih dahsyat lagi saat ditemukan slogan promosi yang menganjurkan, " Shop Till You Drop!" Bukan main
Bulan Desember yang diidentikan oleh banyak negara termasuk Indonesia, adalah kumpulan musim libur dan musim perayaan, seperti Hari Hak Azasi Manusia, Hari Ibu, Hari Natal, dan Hari Tahun Baru Masehi. Bahkan di bulan ini, daftar hari non-aktif di Indonesia bisa keroyokan datangnya--mulai dari Hari Libur Sekolah, Hari Cuti Bersama, Hari Shopping Keluarga, hingga Hari-hari Kejepit alias hari kerja yang diapit oleh beberapa hari libur. Alhasil, separuh dari tigapuluh hari terdiri dari tanggalan berwarna merah semua. Tapi belum cukup sampai disitu rupanya, saat musim kerja datang lagimasih saja banyak orang yang sibuk mengakali agar liburan bisa sedikit  diperpanjang.
Keceriaan pun terlihat disana-sini. Wajah-wajah sumringah muncul setelah bebanan kerja satu tahun dibalas dengan gaji ke-tigabelas. Langkah-langkah kaki yang biasanya terseret-seret lunglai mengikuti pola jam kerja pergi subuh-pulang malam tampak sigap menyusuri lalu-lintas jalur luar kota yang super padat atau tiba-tiba sanggup untuk berthawaf mengelilingi lima lantai dari tiap gedung pertokoan yang begitu menggiurkan untuk disinggahi. Ya, kesenangan yang menimpa kadang memang membuat seseorang lupa akan banyak hal yang seharusnya dikerjakannya, seperti jadi lupa bahwa selama beberapa bulan sudah absen ke majelis ilmu, lupa bayar tunggakan hutang, lupa bersyukur, bahkan sampai lupa daratan.
Lalu bagaimanakah pandangan Islam dalam menyikapi perayaan tahun baru seperti yang sedang dinanti-nanti oleh sebagian besar masyarakat di beberapa hari ini?
Berkaitan dengan hal tersebut, Allah Ta'ala dalam firman-Nya yang berbunyi;
Artinya, "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah duabelas bulan dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. at-Taubah, 9:36)
Empat bulan haram yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab.  Allah memasukkan keempat bulan itu dalam kelompok bulan-bulan haram dikarenakan pada bulan tersebut terdapat pelarangan untuk berperang, membunuh, dan melakukan perbuatan maksiat lainnya, bukanlah pula berarti perbuatan maksiat  boleh dilakukan di luar ke-empat bulan itu, akan tetapi ganjaran dosa yang diancamkan jauh lebih besar.
Dalam sistem penanggalan Islam sudahlah pasti tidak dikenal nama keduabelas bulan yang lebih dominan dihafal oleh umat di luar kepala, yaitu mulai Januari hingga Desember. Yang ada adalah Muharram, Shafar, Rabi'ul Awal, Rabi'ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya'ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqo'dah, dan Dzulhijjah. Ketika kami coba bertanya kepada beberapa orang tentang nama-nama bulan dalam kalender Islam beserta urutannya, hampir serempak reaksi yang diperoleh sama yakni gelengan kepala tanda tak tahu. Sementara kaidah bahasa mengatakan: jika tidak tahu lalu bagaimana bisa menyayangi?
Penanggalan sistem Hijriyah mulai diterapkan pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab pada tahun 13-23 Hijriyah. Beliau memprakarsai penetapan perhitungan tahun yang didasarkan kepada peredaran bulan, sehingga terdapatlah dua pembagian jumlah hari dalam setiap bulannya yaitu bulan ganjil dan bulan genap. Sementara itu disandarkan penamaannya kepada momentum hijrah memiliki makna bahwa Islam tidak mengijinkan masuknya kesyirikan atau pemujaan terhadap seseorang dari pintu manapun dan sekecil apapun, sebab bisa saja penamaannya menjadi Tahun Umar bin Khattab bila dirujuk kepada siapa yang memprakarsainya. Di Jawa misalnya, salah satu suku di Indonesia yang juga memiliki sistem penanggalan sendiri ini menetapkan sebuah nama yang diambil dari seorang rajanya yang bernama Aji Saka, sehingga kemudian menamakannya Tahun Saka. Begitu pula dengan tahun Masehi yang hampir digunakan oleh seluruh negara, ia diciptakan kaum kafir dengan mengadopsi dari gelar yang diberikan kepada nabi Isa bin Maryam yaitu Al-Masih yang kemudian populer dengan sebutan Tahun Masehi.
Hijrah Rasulullah beserta kaum Muhajirin dari bumi Mekkah ke Madinah merupakan momentum sejarah yang teramat penting bagi perkembangan Islam selanjutnya. Terlebih setelah peristiwa eksodus tersebut kemajuan dunia Islam bisa mencapai kejayaannya, sehingga hal inilah yang menjadi pondasi yang tepat bagi penamaan tahun Islam.
Kembali kepada acara rutin menyambut tahun baru, ada juga sekelompok umat yang mentransfer perayaan kaum kafir tersebut untuk diaplikasikan kepada tahun baru Hijriyah. Sejumlah acara pun digelar, seperti dzikir akbar, tabligh tolak-bala 2012, do'a bersama, hingga konser nasyid semalam suntuk. Di awal dan di penghujung sesi, do'a pun dipanjatkan, "Ya Allah, jauhkanlah kami dari keburukan diri-diri kami dan dari apa-apa yang tidak sesuai dengan apa yang telah dicontohkan oleh rasul-Mu, serta selamatkanlah kami dari siksamu"
Dalam sebuah hadistnya, Rasulullah saw telah bersabda,
         .
Artinya, "Barangsiapa yang mengada-adakan dalam urusan (agama) kami ini yang bukan berasal darinya, maka amalan tersebut tertolak." (HR. Bukhari-Muslim)
Ketahuilah bahwa apabila Rasulullah mencontohkan sesuatu, maka orang yang paling dahulu mengikutinya adalah para sahabat dan orang-orang beriman yang bersamanya. Sebaliknya, apabila orang-orang terdekatnya saja tiada pernah mengerjakannya, lalu bagaimanakah lagi dengan pernyataan: "Bahwa amalan ini baik atau amalan itu baik, lihatlah apa yang dibacakan didalamnya berikut seruan dakwah yang memenuhinya. Mengapakah kita tidak menggantikan posisi kemeriahan tahun baru Masehi di tahun baru Hijriyah?" Hmm, sepertinya ini sih dalih untuk sekedar mengakali ancaman Rasulullah terhadap umatnya yang mencoba menyerupai apa-apa yang dikerjakan oleh kaum lain yang tidak ada contohnya dari beliau. Tasyabbuh, begitu istilahnya.
Sementara pada beberapa literatur dikhabarkan bahwa asal-usul perayaan tahun baru Masehi didasarkan pada kebudayaan Persi kuno yaitu ketika Raja Nairuz naik tahta menjadi raja untuk kaumnya yang menjadikan api sebagai sesuatu yang dipuja-puja. Mereka kaum Majusi yang menganggap api sesuatu yang memiliki kekuatan sehingga karena kepercayaan itulah mereka menetapkan tanggal 1 Januari sebagai hari penobatan raja baru yaitu yang dipersangkakan sebagai hari terciptanya api. Sepanjang malam mereka berpesta, menyalakan bunga-bunga api, mengkonsumsi minuman keras, dan turun ke jalan-jalan. Adakah kesamaan dengan yang terjadi pada masa-masa sekarang ini?
Perayaan pesta kembang api, acara panggung seni dengan bertabur artis papan-atas ibukota, konvoy malam keliling kota, bakar-bakar ikan tepi pantai, countdown detik-detik pergantian tahun secara bersama-sama, meniup terompet, menampakkan keriangan dengan melakukan toast  ala film cowboy, semuanya tampak sudah sah-sah saja di negeri ini. Perhelatan besar-besaran ini pun bukan hanya pesta rakyat semata, tapi sudah pula diselenggarakan dan dibantu kemeriahannya oleh negara. Lihat saja gemerlapnya malam di pusat kota-kota besar, suasana yang dalam al-qur'an disebutkan "Jadikanlah malammu untuk istirahat" atau di ayat lain berbunyi "Jadikanlah malammu untuk akhiratmu", justru dihidupkan dengan beragam kegiatan penghantar kemaksiatan atau paling tidak sebagai fasilitas untuk kegiatan yang tak ada faedahnya. Perhatikanlah ketika kemaksiatan itu ditata dengan bahu-membahu, mulai dari masyarakat umum, pusat perbelanjaan, instansi pemerintah hingga lembaga keamanan negara. Mulai dari orang nomor satu hingga orang yang sedang sibuk cari-cari kursi, dengan senang hati menyempatkan diri  untuk muncul mengucapkan kata-kata sambutan yang disiarkan live sampai ke pelosok kampung. Semua tampak saling satu-padu, ada yang bertugas mengeruk uang rakyat dengan menggelar diskon gila-gilaan, ada yang bertugas menyusun program acara Kemaksiatan Massal, ada juga yang berperan aktif menjaga keberlangsungan perhelatan akbar umat kafir itu agar tak diobrak-abrik sebuah ormas Islam Sebagian lagi justru mengupayakan menolak kemaksiatan dengan bid'ah, "Daripada masyarakat joged di tepi pantai, kan lebih baik kalau mereka diajak dzikiran bersama, mas!" Begitu kelit salah seorang panitianya.
Menjelang fajar hingga waktu ayam jantan berkokok, saat itu usailah kemeriahan. Tinggallah yang ada sisa-sisa pesta semalam suntuk dan sampah-sampah kembang-api yang berserakan mengotori jalan. Spirit yang menggebu-gebu untuk mengisi lembaran tahun yang baru saja datang itu, tampak menguap ke udara pagi yang masih bercampur dengan asap-asap kemaksiatan. Sementara para penikmat malam tahun baru, tengah pulas tertidur. Entahlah apakah sempat untuk sholat subuh
Sungguh memilukan nasib sebagian besar umat di negeri ini, lima kali sehari merintih meminta kebahagiaan dunia-akhirat, siang-malam tekun berupaya memperbaiki jenjang hidup agar tak lagi berada dibawah garis kemiskinan, tapi sepanjang waktu pula melumuri umur dengan penyakit tasyabbuh, penyakit ujub-riya'-dan sum'ah, penyakit sihir dan perdukunan, ataupun penyakit TBC (Takhayul, Bid'ah, Churafat). Negeri ini tak ubah layaknya sarang penyakit. Belum habis satu diberantas, sudah kambuh lagi penyakit yang lain.Sebahagian orang justru menganggap negeri ini negeri hantu. Tak percaya? Coba amati ensiklopedi roh gentayangan versi orang Indonesia: ada kuntilanak, pocong, mak lampir, sundel bolong, suster ngesot, nyi roro kidul, sampai kolor ijo yang sempat meresahkan kaum wanita beberapa waktu lalu. Ternyata ada benarnya juga lirik klasik yang mengatakan bahwa Indonesia itu tanah surga, bahkan tongkat kayu dan batu jadi tanaman Terapannya untuk saat ini adalah bahwa apa saja laku dijadikan ladang bisnis di Indonesia, sampai-sampai hantu pun jadi artis utama layar lebar.  Dan ketika akidah rontok karena bersinggungan dengan nafsu dunia, mulai didaulatlah hantu sebagai tuhan, naudzubillahi min dzaalik! Itu dilakukan oleh muslim yang notabene masih mengaku sholat, apatah lagi dengan yang jarang sholat atau malah yang sudah merasa tak perlu sholat lagi karena yakin telah sampai pada derajat maqam. Pantas saja bencana tak habis-habisnya turun menimpa.
Fakta tersebut juga merupakan beberapa faktor dari penyebab kemunduran kaum muslimin sendiri. Menjauh dari ilmu yang dibawa para salafush sholeh, tidak menerapkan syari'at secara kaffah, mempertuhankan hawa nafsu dan cinta dunia, serta tasyabbuh kepada millah Yahudi dan Nasrani. Patut disadari bahwa mereka adalah umat kadaluarsa karena telah lewat masanya mereka mengutamakan ajaran nabi-nabi serta nenek-moyang mereka. Cukuplah sudah Rasulullah sebagai pengganti dan penyempurna hingga akhir zaman. Allah Ta'ala berfirman;
Artinya,"Dan (ingatlah) ketika Isa Ibn Maryam berkata, "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)." Maka tatkala Rasul itu datang kepada mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata, "Ini adalah sihir yang  nyata." (QS. ash-Shaff, 61:6)
Akhirnya, mengapakah seorang yang mengaku muslim tidak bermuhasabah dalam keluasan hari-hari yang diberikan Allah Ta'ala kepadanya? Mengapa justru ia sibuk berletih-letih dan menghamburkan segala potensi yang dimilikinya tidak untuk keta'atan kepada Yang Maha Berkuasa? Bergembira-ria dalam menyambut hari rayatentu saja dianjurkan dalam Islam, tapi asal tak keluar dari jalur yang disyari'atkan tentunya. Rasulullah saw sendiri sudah menyampaikan bahwa telah dicukupkan dua hari raya bagi umat Islam, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Mengapakah lagi seorang muslim harus tasyabbuh dan mentransfer budaya di luar Islam?
Allah Ta'ala berfirman,  
Artinya, "Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Hasyr, 59:18)
Dari Hasan al-Bashri rahimahullah diriwayatkan bahwa beliau berkata, "Wahai anak  Adam, sesungguhnya kamu tidak lain hanya hidup beberapa hari saja; setiap kali waktu berlalu, berarti hilanglah sebagian dirimu." (Siyar A'lam an-Nurbala', 1/496) Untuk itu waspadalah bagi para pelanggan penikmat malam tahun baruan, jangan-jangan usai pesta tutup tahunlalu engkau pulalah yang tutup usia! Wallahu alam bishowwab. (Ghomidiyah)
http://arrahmah.com/read/2011/12/30/17116-huru-hara-tutup-tahun.html">http://arrahmah.com/read/2011/12/30/17116-huru-hara-tutup-tahun.html
http://yuksharav.blogspot.com/2012/01/sejarah-dan-asal-usul-tahun-baru-masehi.html


Sejarah Tahun Baru Masehi
Posted by : ilham on :Jumat, 30 Desember 2011 0 comments
sejarah Tahun Baru Masehi - Asal Mula Perayaan Tahun Baru Masehi - Asal Usul Tahun Baru masehi - Sejarah Asal Mula Perayaan Tahun Baru Masehi - Sejarah Asal Usul Perayaan Tahun Baru Masehi
Tiap kali menjelang malam pergantian tahun (Kalender Masehi), milyaran orang di penjuru dunia merayakannya. Tiupan terompet, pesta kembang api, hingar bingar pertunjukkan musik, pesta pora di hotel-hotel berbintang atau tempat wisata, hingga ucapan "Selamat Tahun Baru" atau "Happy New Year" berkumandang di mana-mana.
Tapi, tak banyak yang mengetahui sejarah di balik perayaan tahun baru masehi ini. Apa sebenarnya dasar penentuan perayaan tahun baru?
Sejarah Tahun Baru Masehi
Tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma, ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskkitariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir.
Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini. Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.
Perayaan Tahun Baru
Saat ini, tahun baru 1 Januari telah dijadikan sebagai salah satu hari suci umat Kristen. Namun kenyataannya, tahun baru sudah lama menjadi tradisi sekuler yang menjadikannya sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Dunia.
Pada mulanya perayaan ini dirayakan baik oleh orang Yahudi yang dihitung sejak bulan baru pada akhir September. Selanjutnya menurut kalender Julianus, tahun Romawi dimulai pada tanggal 1 Januari. Paus Gregorius XIII mengubahnya menjadi 1 Januari pada tahun 1582 dan hingga kini seluruh dunia merayakannya pada tanggal tersebut.
Tahun Masehi sebenarnya berhubungan dengan keyakinan agama Kristen. Masehi adalah nama lain dari Isa Al Masih. Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang yang pertama membuat penanggalan kalender Masehi adalah seorang kaisar Romawi yang terkenal bernama Gaisus Julius Caesar. Itu dibuat pada 45 SM, jika menggunakan standar tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus. Namun dalam perkembangannya, ada seorang pendeta Kristen bernama Dionisius yang kemudian memanfaatkan penemuan kalender Julius Caesar untuk diadobsi sebagai penanggalan yang didasarkan pada tahun kelahiran Yesus Kristus. Itulah sebabnya penanggalan tahun setelah kelahiran Yesus Kristus diberi tanda AD (bahasa Latin: Anno Domini yang berarti in the year of our lord) alias Masehi. Sementara untuk jaman prasejarahnya disematkan BC (Before Christ) alias SM (Sebelum Masehi). Kemudian Pope (Paus) Gregory III memoles kalender yang sebelumnya dengan beberapa modifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh Eropa, bahkan kini seluruh negara di dunia dan berlaku umum bagi siapa saja. Kalender Gregorian yang kita kenal sebagai kalender Masehi dibuat berdasarkan kelahiran Yesus Kristus dalam keyakina Kristen:The Gregorian calendar is also called the Christian calendar because it uses the birth of Jesus Christ as a starting date. Demikian keterangan dalam Encarta Reference Library Premiun 2005. Di jaman Romawi, pesta ulang tahun baru adalah untuk menghormati Dewa janus (Dewa yang digambarkan bermuka dua). Kemudian perayaan ini terus dilestarikan dan menyebar ke Eropa pada abad permulaan Masehi. Seiring muncul dan berkembangnya agama Kristen, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai suatu perayaan suci satu paket dengan hari Natal. Itulah mengapa ucapan Natal dan Tahun baru dijadikan satu (Merry Christmas and Happy New Year).
 Soal Janus Dewa-Dewa pagan Tersebut bisa dibaca di sini untuk lebih lengkapnya
Perayaan Tahun Baru Zaman Dulu
Seperti kita ketahu, tradisi perayaan tahun baru di beberapa negara terkait dengan ritual keagamaan atau kepercayaan mereka yang tentu saja sangat bertentangan dengan Islam. Contohnya di Brazil. Pada tengah malam setiap tanggal 1 Januari, orang-orang Brazil berbondong-bondong menuju pantai dengan pakaian putih bersih. Mereka menaburkan bunga di laut, mengubur mangga, pepaya dan semangka di pasir pantai sebagai penghormatan terhadap sang dewa LemanjaDewa laut yang terkenal dalam legenda negara Brazil.
Seperti halnya di Brazil, orang Romawi kuno pun saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci untuk merayakan pergantian tahun. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Janus, dewa pintu dan semua permulaan. Menurut sejarah, bulan Januari diambil dari nama dewa bermuka dua ini (satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang).
Sedangkan menurut kepercayaan orang Jerman, jika mereka makan sisa hidangan pesta perayaan New Years Eve di tanggal 1 Januari, mereka percaya tidak akan kekurangan pangan selama setahun penuh. Bagi orang kristen yang mayoritas menghuni belahan benua Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus atau Isa al-Masih, sehingga agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi.
Yunani, buah delima yang menurut orang yunani melambangkan kesuburan dan kesuksesan ditebarkan di pintu rumah, kantor dan took took sebagai simbol doa untuk mendapatkan kemakmuran sepanjang tahun. Italia, disalah satu kotanya, tepatnya Naples, pada pukul 00 tepat pada malam pergantian tahun, masyarakat disana akan membuang barang barang yang sudah usang dan tidak terpakai di jalanan. Spanyol, masyarakat spanyol tepat pada malam pergantian tahun akan memakan anggur sebanyak 12 biji, jumlah yang hanya 12 melambangkan harapan selama 12 bulan kedepan. Jepang, di jepang, masyarakat disana merayakan tahun barunya dengan memakan 3 jenis makanan sebagai simbol yaitu telur ikan melambangkan kemakmuran, ikan sarden asap melambangkan kesuburan tanah dan manisan dari tumbuhan laut yang melambangkan perayaan. Korea, pada malam pergantian tahun masyarakat disana menikmati kaldu daging sapi yang dicampur dengan potongan telur dadar dan kerupuk nasi atau yang biasa disebut thuck gook.
Pada tanggal 1 Januari orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi: Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba football Amerika Rose Bowl dilangsungkan di Kalifornia; atau Orange Bowl di Florida; Cotton Bowl di Texas; atau Sugar Bowl di Lousiana. Di Amerika Serikat, kebanyakan perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember, di mana orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, di mana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan dan orang-orang meneriakkan Selamat Tahun Baru dan menyanyikan Auld Lang Syne.Di negara-negara lain, termasuk Indonesia? Sama saja!
Perayaan tahun baru Masehi biasanya dirayakan sangat meriah bahkan ada yang sengaja melupakan sejenak persoalan hidup yang berat untuk sekedar merayakan pergantian tahun: old and new. Tradisi yang dilakukan selalu rutin: meniup terompet dan menyalakan kembang api pada saat detik jarum jam tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka 00.00.
SEKARANG MASIHKAH ANDA SEBAGAI MUSLIM INGIN MERAYAKAN TAHUN BARU?
http://kallolougi.blogspot.com/2011/12/sejarah-tahun-baru-masehi.html

Jumat, 28 Desember 2012

Muhasabah (Introspeksi diri)



 

Assalamu'alaykum warohmatullohi wabarokatuh.

Muhasabah (Introspeksi diri)

Segala puji bagi Allah yang menjanjikan bagi orang yang mengintrospeksi dan mengekang dirinya dengan rasa aman di hari yang dijanjikan. Aku memuji-Nya, (Dia) Yang Maha Suci, Yang memuliakan wali-wali-Nya, dan menganugrahkan tambahan pada mereka di hari (itu). Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq kecuali Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Dan Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, beliau adalah sebaik-baik penyeru ke jalan dan petunjuk yang lurus, Semoga shalawat, keberkahan dan salam tetap terlimpah pada beliau, keluarga serta para shahabat yang mereka adalah suri tauladan bagi manusia dalam muhasabah. Dengan memperingatkan dari hari yang amat hebat kegoncangannya. Begitupula para tabi'in yang mengikuti mereka dengan kebaikan hingga hari yang tidak mungkin menghindar darinya.
Wahai hamba-hamba Allah, aku mewasiatkan diriku dan anda untuk bertakwa pada Allah dan introspeksi diri. Karena dengan muhasabah, maka jiwa akan menjadi istiqamah, sempurna dan bahagia. Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat), dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" [Q.S Al-Hashr 59:18]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya: "Firman Allah وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ , maksudnya introspeksilah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan perhatikan amalan sholeh yang telah kalian persiapkan untuk hari kemudian dan pertanggung jawaban di hadapan Allah.
Allah berfirman:
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا . فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا . قَدْ أَفْلَحَ مَن زَكَّاهَا . وَقَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا
"Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya" (Q.S Asy-Syams 7-10)
Imam Al-Badawy rahimahullah berkata dalam tafsirnya: "Al-Hasan berkata: Maknanya sungguh beruntunglah orang yang mensucikan, memperbaiki dan mengarahkan dirinya untuk taat pada Allah 'Azza Wa Jalla:
قَدْ خَابَ مَن دَسَّاهَا , maksudnya, membinasakannya, menyesatkannya dan mengarahkannya pada perbuatan maksiat.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah ^ bersabda: "Orang yang pandai adalah orang yang mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk setelah kematian, sedang orang yang lemah adalah orang yang jiwanya selalu tunduk pada nafsunya dan mengharap pada Allah dengan berbagai angan-angan" (H.R Ahmad dan Tirmidzi)
Imam Ahmad meriwayatkan dalam Kitab Az-Zuhd dari Umar bin Khattab bahwa beliau berkata:  "Perhitungkanlah diri kalian sebelum kalian diperhitungkan, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, karena itu lebih memudahkan penghisaban bagi kalian kelak, Berhiaslah untuk menghadapi hari perhitungan
يَوْمَئِذٍ تُعْرَضُونَ لَا تَخْفَى مِنكُمْ خَافِيَةٌ  : "Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah)" (Q.S Al-Haaqqah: 18)
Ibnul Qayyim rahimahullah meriwayatkan dari Al-Hasan bahwa beliau berkata: "Seorang mukmin itu pandai mengendalikan dirinya, selalu menghisab dirinya di hadapan Allah. Penghisaban di Hari Kiamat itu akan menjadi ringan bagi mereka yang selalu memperhitungkan selama di dunia. Sebaliknya, akan terasa berat bagi orang yang tidak pernah memperhitungkan dirinya".
Berkata Wahab sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad rahimahullah: "Dalam hikmah keluarga  Daud tertulis: "Sudah selayaknya bagi orang yang berakal agar tidak lalai dari empat waktu:
- Saat bermunajat  pada Tuhannya
- Waktu mengintrospeksi diri
- Saat berkumpul bersama saudara (dan teman) yang memberitahukan tentang kekurangan dan keadaan dirinya  - dan waktu refreshing/santai dengan melakukan sesuatu yang halal lagi menyenangkan, karena pada saat tersebut akan mempermudah baginya melakukan waktu-waktu di atas dan sekaligus menjadi penghibur hati.
Berkata Maimun bin Mahran: "Seorang hamba tidak akan meraih derajat takwa sampai ia menghisab dirinya melebihi seseorang pada patnernya. Karena itu dikatakan: "Jiwa itu ibarat shahabat yang suka berkhianat, jika engkau tidak mengawasinya, maka ia akan membawa lari hartanya".
Umar bin Khattab y menulis (surat) pada beberapa pejabatnya: "Perhitungkanlah dirimu di waktu senang sebelum datang perhitungan yang berat. Barangsiapa yang menghisab dirinya di waktu senang sebelum perhitungan yang berat, maka ia akan ridha dan mendapat keberuntungan. Sebaliknya, siapa yang kehidupannya melalaikannya dan nafsunya menyibukkannya, maka ia akan menyesal dan mendapat kerugian"   (H.R Baihaqi dalam Al- Wahd dan Ibnu 'Asakir)
Ibnul Jauzi meriwayatkan dalam (Kitab) Dzammul Hawa dari As-Sulamy berkata: Aku mendengar Abul Husain Al-Farisy berkata: Aku mendengar Abu Muhammad Al-Hariri berkata: "Barangsiapa yang dikuasai oleh jiwanya, maka ia akan berada dalam tawanan syahwat dan terkurung dalam penjara hawa nafsu.
Allah mengharamkan bagi hatinya untuk mendapat kemanfaatan, sehingga ia tidak dapat merasakan keindahan firman-Nya meski ia banyak membacanya. Berkata Syaikh Abdul Aziz As-Salman rahimahullah dalam kitabnya: Mawarid adz-Dzam-aan : "Jika ia sadar bahwa ia akan di tanya dalam perhitungan nanti tentang perkara sekecil biji sawi, di hari yang kadarnya adalah lima puluh ribu tahun, dimana di saat itu amat dibutuhkan berbagai kebaikan, dan ampunan dosa-dosa, maka nyatalah bahwa tidak akan selamat dari berbagai kesulitan kelak, melainkan dengan bergantung pada Allah, dan pertolongan-Nya untuk introspeksi diri, muraqabah, dan mengawasi jiwa dalam setiap gerak geriknya. Maka barangsiapa yang menghisab dirinya sebelum di hisab, akan menjadi ringan perhitungan dirinya di Hari Kiamat, akan ada jawaban di saat ia mengahadapi pertanyaan, dan akhir kesudahannya adalah kebaikan.
Wahai jiwa, bersiaplah dengan perbekalan yang engkau mampu
Wahai jiwa, sebelum (datangnya) kematian,  engkau tidak diciptakan dengan  sia-sia
Waspadalah dari terjatuh pada kehinaan dan merendah dirilah
Pintu Allah, berapa banyak Dia Memberi petunjuk dan memaafkan
Takutlah dengan berbagai gejolak kehidupan
Sadarlah, jangan menjadi seperti  orang yang terjatuh
Dalam jurang kehinaan …
Berkata Ibnu Qudamah dalam Minhaj Al-Qashidin: "Ketauhilah bahwa musuhmu yang paling berbahaya adalah jiwa yang berada dalam dirimu, ia memiliki nafsu ammarah bissuu', condong pada kejahatan. Engkau diperintahkan untuk meluruskan, membersihkan, dan memutusnya dari berbagai pengaruh negatif serta mengarahkannya dengan rantai kekuatan untuk beribadah pada Tuhannya. Jika engkau menyepelekannya, maka ia akan terlepas tanpa kendali dan engkau tidak mendapat keberuntungan setelah itu. Kalau engkau senantiasa mengingatkannya maka kami mengharapkan jiwa tersebut akan menjadi tenang. Karena itu jangan engkau lalai untuk mengingatkannya".
·         Ketahuilah wahai hamba-hamba Allah, bahwa muhasabah itu ada beberapa macam:
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: Muhasabah ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
* Jenis yang pertama: Sebelum beramal, yaitu dengan berfikir sejenak ketika hendak berbuat sesuatu, dan jangan langsung mengerjakan sampai nyata baginya kemaslahatan untuk melakukan atau tidaknya. Al-Hasan berkata: "Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berdiam sejenak ketika terdetik dalam fikirannya suatu hal, jika itu adalah amalan ketaatan pada Allah, maka ia melakukannya, sebaliknya jika bukan, maka ia tinggalkan".
* Jenis yang kedua: Introspeksi diri setelah melakukan perbuatan. Ini ada tiga jenis:
1. Mengintrospeksi ketaatan berkaitan dengan hak Allah yang belum sepenuhnya ia lakukan, lalu ia juga muhasabah, apakah ia sudah melakukan ketaatan pada Allah sebagaimana yang dikehendaki-Nya atau belum ?
2. Introspeksi diri terhadap setiap perbuatan yang mana meninggalkannya adalah lebih baik dari melakukannya.
3. Introspeksi diri tentang perkara yang mubah atau sudah menjadi kebiasaan, mengapa mesti ia lakukan? Apakah ia mengharapkan Wajah Allah dan negeri akherat? Sehingga (dengan demikian) ia akan beruntung, atau ia ingin dunia yang fana? Sehingga iapun merugi dan tidak mendapat keberuntungan.
·         Muhasabah memiliki dampak positif dan manfaat yang luar biasa, antara lain:
1.      Mengetahui aib sendiri. Barangsiapa yang tidak memeriksa aib dirinya, maka ia tidak akan mungkin menghilangkannya.
1.      Dengan bermuhasabah, seseorang akan kritis pada dirinya dalam menunaikan hak Allah. Demikianlah keadaan kaum salaf, mereka mencela diri mereka dalam menunaikan hak Allah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Darda y bahwa beliau berkata: "Seseorang itu tidak dikatakan faqih dengan sebenar-benarnya sampai ia menegur manusia dalam hal hak Allah, lalu ia gigih mengoreksi dirinya.
Berkata Muhammad bin Wasi' rahimahullah dengan nada merendah diri, padahal beliau adalah seorang ahli ibadah: "Seandainya dosa berbau, tentu tidak ada yang betah duduk bersamaku"
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Mencela diri dalam Dzat Allah adalah termasuk sifat shiddiqin (orang-orang yang benar), seorang hamba akan dekat dengan Allah Ta'ala dalam sekejap, berlipat-lipat melebihi dekatnya melalui amalnya".
Berkata Abu Bakar As-Shiddiq y: "Barangsiapa yang mencela dirinya berkaitan dengan hak Allah (terhadap dirinya), maka Allah akan memberinya keamanan dari murka-Nya"
1.      Diantara buah dari muhasabah adalah membantu jiwa untuk muraqabah. Kalau ia bersungguh-sungguh melakukannya di masa hidupnya, maka ia akan beristirahat di masa kematiannya. Apabila ia mengekang dirinya dan menghisabnya sekarang, maka ia akan istirahat kelak di saat kedahsyatan hari penghisaban.
1.      Diantara buahnya adalah akan terbuka bagi seseorang pintu kehinaan dan ketundukan di hadapan Allah.
5. Manfaat paling besar yang akan diperoleh adalah keberuntungan masuk dan menempati Surga Firdaus serta memandang Wajah Rabb Yang Mulia lagi Maha Suci. Sebaliknya jika ia menyia-nyiakannya maka ia akan merugi dan masuk ke neraka, serta terhalang dari (melihat) Allah dan terbakar dalam adzab yang pedih.
Tidak mengintrospeksi diri dan menyia-nyiakannya akan membawa kerugian yang besar. Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah: "Yang paling berbahaya adalah sikap  tidak mengindahkan, tidak mau muhasabah, dan menggampangkan urusan, karena ini akan menyampaikan pada kebinasaan. Demikianlah keadaan orang-orang yang tertipu, ia menutup matanya dari akibat (perbuatan) dan hanya mengandalkan ampunan, sehingga ia tidak mengintrospeksi dirinya dan memikirkan kesudahannya. Jika ia melakukan hal ini, akan mudah baginya untuk terjerumus dalam dosa dan ia akan senang melakukannya, serta berat untuk meninggalkannya. Seandainya ia berakal, tentulah ia sadar bahwa mencegah itu lebih mudah ketimbang  berhenti dan meninggalkan kebiasaan.
Jika engkau selalu menuruti nafsu dalam setiap kelezatan
Engkau akan lupa ….
Jika engkau senantiasa memenuhi seruan hawa nafsu
Ia akan menyeretmu pada perbuatan buruk dan haram
Maka bertakwalah pada Allah wahai hamba Allah, introspeksilah dirimu, karena baik dan selamatnya hati adalah dengan muhasabah, sebaliknya rusaknya adalah dengan sebab tidak mengindahkan dan bergelimang dalam kelezatan nafsu serta syahwat serta mengenyampingkan perkara yang bisa menyempurnakannya. Maka berhati-hatilah dari hal itu, niscaya diri kalian akan mulia dan berbahagia di saat berjumpa dengan Tuhan kalian (Allah). Semoga shalawat dan salam tetap tercurah pada nabi kita Muhammad, keluarga dan para shahabatnya.
http://indonesian.iloveallaah.com/muhasabah-introspeksi-diri/


Introspeksi Diri, Akhlak yang Terlupa

Dalam perjalanan hidup di dunia, tentunya seorang muslim tidak akan lepas dari kesalahan dan dosa sebagai akibat hawa nafsu yang diperturutkan. Selain itu, buah pemikiran yang dihasilkan manusia, yang dibangga-banggakan oleh pemiliknya, tidak jarang yang menyelisihi kebenaran, tidak sedikit yang bertentangan dengan ajaran yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya. Oleh karenanya, seiring waktu yang diberikan Allah kepada manusia di dunia, sepatutnya dipergunakan untuk mengintrospeksi segala perilaku dan pemikiran yang dia miliki, sehingga mendorongnya untuk mengoreksi diri ke arah yang lebih baik.
Introspeksi, Pintu untuk Mengoreksi Diri
Di dalam kitab Shahih-nya, imam Bukhari membuka salah satu bab kitab ash-Shaum dengan perkataan Abu az-Zinad,
إن السنن ووجوه الحق لتأتي كثيرًا على خلاف الرأي
Sesungguhnya mayoritas sunnah dan kebenaran bertentangan dengan pendapat pribadi” [HR. Bukhari].
Memang benar apa yang dikatakan beliau, betapa seringnya seseorang enggan menerima kebenaran karena bertentangan dengan pendapat dan tendensi pribadi. Bukankah dakwah tauhid yang ditawarkan nabi kepada kaum musyrikin, ditolak karena bertolak belakang dengan keinginan pribadi mereka, terutama tokoh-tokoh terpandang di kalangan kaum musyrikin?
Tidak jarang seseorang tidak mampu selamat dari hawa nafsu dan terbebas dari kekeliruan pendapat karena bersikukuh meyakini sesuatu dan tidak mau menerima koreksi. Hal ini tentu berbeda dengan kasus seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad. Ketika syari’at menerangkan bahwa seorang mujtahid yang keliru memperoleh pahala atas ijtihad yang dilakukannya, hal ini bukan berarti mendukung dirinya untuk menutup mata dari kesalahan ijtihad dan bersikukuh memegang pendapat jika telah nyata akan kekeliruannya. Betapa banyak ahli fikih yang berfatwa kemudian rujuk setelah meneliti ulang fatwanya dan melihat bahwa kebenaran berada pada pendapat pihak lain.
Kita bisa mengambil pelajaran dari penolakan para malaikat terhadap kalangan yang hendak datang ke al-Haudh (telaga rasulullah di hari kiamat). Mereka tidak bisa mendatangi al-Haudh dikarenakan dahulu di dunia, mereka termasuk kalangan yang bersikukuh untuk berpegang pada kekeliruan, kesalahan dan kesesatan, padahal kebenaran telah jelas di hadapan mereka. Hal ini ditunjukkan dalam hadits, ketika para malaikat memberikan alasan kepada nabi,
إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ، وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ، فَأَقُولُ: أَلَا سُحْقًا، سُحْقًا
Mereka telah mengganti-ganti (ajaranmu) sepeninggalmu” maka kataku: “Menjauhlah sana… menjauhlah sana (kalau begitu)” [Shahih. HR. Ibnu Majah].
Kita dapat melihat bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendo’akan kecelakaan kepada mereka, karena enggan untuk melakukan introspeksi, enggan melakukan koreksi dengan menerima kebenaran yang ada di depan mata. Oleh karenanya, evaluasi diri merupakan perantara untuk muhasabah an-nafs, sedangkan koreksi diri merupakan hasil yang pengaruhnya ditandai dengan sikap rujuk dari kemaksiatan dan kekeliruan dalam suatu pendapat dan perbuatan.
Sarana-sarana untuk Mengevaluasi Diri
Diantara sarana yang dapat membantu seseorang untuk mengevaluasi diri adalah sebagai berikut:
Pertama, tidak menutup diri dari saran pihak lain
Seorang dapat terbantu untuk mengevaluasi diri dengan bermusyawarah bersama rekan dengan niat untuk mencari kebenaran. Imam Bukhari mengeluarkan suatu riwayat yang menceritakan usul Umar kepada Abu Bakr radhiallahu anhuma untuk mengumpulkan al-Quran. Tatkala itu Abu Bakr menolak usul tersebut, namun Umar terus mendesak beliau dan mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan. Pada akhirnya Abu Bakr pun menerima dan mengatakan,
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي، وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
Umar senantiasa membujukku untuk mengevaluasi pendapatku dalam permasalahan itu hingga Allah melapangkan hatiku dan akupun berpendapat sebagaimana pendapat Umar” [HR. Bukhari].
Abu Bakr tidak bersikukuh dengan pendapatnya ketika terdapat usulan yang lebih baik. Dan kedudukan beliau yang lebih tinggi tidaklah menghalangi untuk menerima kebenaran dari pihak yang memiliki pendapat berbeda.
Kedua, bersahabat dengan rekan yang shalih
Salah satu sarana bagi seorang muslim untuk tetap berada di jalan yang benar adalah meminta rekan yang shalih untuk menasehati dan mengingatkan kekeliruan kita, meminta masukannya tentang solusi terbaik bagi suatu permasalahan, khususnya ketika orang lain tidak lagi peduli untuk saling mengingatkan. Bukankah selamanya pendapat dan pemikiran kita tidak lebih benar dan terarah daripada rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ، أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيتُ فَذَكِّرُونِي
Sesungguhnya aku hanyalah manusia seperti kalian. Aku lupa sebagaimana kalian lupa. Oleh karenanya, ingatkanlah aku ketika diriku lupa” [HR. Bukhari].
Ketika budaya saling menasehati dan mengingatkan tertanam dalam perilaku kaum mukminin, maka seakan-akan mereka itu adalah cermin bagi diri kita yang akan mendorong kita berlaku konsisten. Oleh karena itu, dalam menentukan jalan dan pendapat yang tepat, anda harus berteman dengan seorang yang shalih. Anda jangan mengalihkan pandangan kepada maddahin (kalangan penjilat) yang justru tidak akan mengingatkan akan kekeliruan saudaranya.
إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِالْأَمِيرِ خَيْرًا جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدْقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ
Jika Allah menghendaki kebaikan bagi diri seorang pemimpin/pejabat, maka Allah akan memberinya seorang pendamping/pembantu yang jujur yang akan mengingatkan jika dirinya lalai dan akan membantu jika dirinya ingat” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Contoh nyata akan hal ini disebutkan dalam kisah al-Hur bin Qais, orang kepercayaan Umar bin al-Khaththab radhiallahu anhu. Pada saat itu, Umar murka dan hendak memukul Uyainah bin Husn karena bertindak kurang ajar kepada beliau, maka al-Hur berkata kepada Umar,
يَا أَمِيرَ المُؤْمِنِينَ، إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَالَ لِنَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: {خُذِ العَفْوَ وَأْمُرْ بِالعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِينَ} [الأعراف: 199] ، وَإِنَّ هَذَا مِنَ الجَاهِلِينَ، «وَاللَّهِ مَا جَاوَزَهَا عُمَرُ حِينَ تَلاَهَا عَلَيْهِ، وَكَانَ وَقَّافًا عِنْدَ كِتَابِ اللَّهِ»
Wahai amir al-Mukminin, sesungguhnya Allah ta’ala berfirman kepada nabi-Nya, “Berikan maaf, perintahkan yang baik dan berpalinglah dari orang bodoh.” Sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh”. Perawi hadits ini mengatakan, “Demi Allah Umar tidak menentang ayat itu saat dibacakan karena ia adalah orang yang senantiasa tunduk terhadap al-Quran.” [HR. Bukhari].
Betapa banyak kezhaliman dapat dihilangkan dan betapa banyak tindakan yang keliru dapat dikoreksi ketika rekan yang shalih menjalankan perannya.
Ketiga, menyendiri untuk melakukan muhasabah
Salah satu bentuk evaluasi diri yang paling berguna adalah menyendiri untuk melakukan muhasabah dan mengoreksi berbagai amalan yang telah dilakukan.
Diriwayatkan dari Umar bin al-Khaththab, beliau mengatakan,
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا، وَتَزَيَّنُوا لِلْعَرْضِ الأَكْبَرِ
Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih) untuk pagelaran agung (pada hari kiamat kelak)” [HR. Tirmidzi].
Diriwayatkan dari Maimun bin Mihran, beliau berkata,
لَا يَكُونُ العَبْدُ تَقِيًّا حَتَّى يُحَاسِبَ نَفْسَهُ كَمَا يُحَاسِبُ شَرِيكَهُ
Hamba tidak dikatakan bertakwa hingga dia mengoreksi dirinya sebagaimana dia mengoreksi rekannya” [HR. Tirmidzi].
Jika hal ini dilakukan, niscaya orang yang melaksanakannya akan beruntung. Bukanlah sebuah aib untuk rujuk kepada kebenaran, karena musibah sebenarnya adalah ketika terus-menerus melakukan kebatilan.
Faedah Mengintrospeksi Diri  
Mengintrospeksi diri memiliki beberapa faedah, yaitu:
Pertama, musibah terangkat dan hisab diringankan
Pada lanjutan atsar Umar di atas disebutkan bahwa sebab terangkatnya musibah dan diringankannya hisab di hari kiamat adalah ketika seorang senantiasa bermuhasabah. Umar radhiallahu anhu mengatakan,
وَإِنَّمَا يَخِفُّ الحِسَابُ يَوْمَ القِيَامَةِ عَلَى مَنْ حَاسَبَ نَفْسَهُ فِي الدُّنْيَا
Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia” [HR. Tirmidzi].
Ketika berbagai kerusakan telah merata di seluruh lini kehidupan, maka jalan keluar dari hal tersebut adalah dengan kembali (rujuk) kepada ajaran agama sebagaimana yang disabdakan nabi shallallahu alaihi wa sallam,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ
Apabila kamu berjual beli dengan cara inah (riba), mengambil ekor-ekor sapi (berbuat zhalim), ridha dengan pertanian (mementingkan dunia) dan meninggalkan jihad (membela agama), niscaya Allah akan menimpakan kehinaan kepada kalian, Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada ajaran agama
Dalam riwayat lain, disebutkan dengan lafadz,
حتى يراجعوا دينهم
Hingga mereka mengoreksi pelaksanaan ajaran agama mereka” [Shahih. HR. Abu Dawud].
Anda dapat memperhatikan bahwa rujuk dengan mengoreksi diri merupakan langkah awal terangkatnya musibah dan kehinaan.
Kedua, hati lapang terhadap kebaikan dan mengutamakan akhirat daripada dunia
Demikian pula, mengoreksi kondisi jiwa dan amal merupakan sebab dilapangkannya hati untuk menerima kebaikan dan mengutamakan kehidupan yang kekal (akhirat) daripada kehidupan yang fana (dunia). Dalam sebuah hadits yang panjang dari Ibnu Mas’ud disebutkan, “Suatu ketika seorang raja yang hidup di masa sebelum kalian berada di kerajaannya dan tengah merenung. Dia menyadari bahwasanya kerajaan yang dimilikinya adalah sesuatu yang tidak kekal dan apa yang ada di dalamnya telah menyibukkan dirinya dari beribadah kepada Allah. Akhirnya, dia pun mengasingkan diri dari kerajaan dan pergi menuju kerajaan lain, dia memperoleh rezeki dari hasil keringat sendiri. Kemudian, raja di negeri tersebut mengetahui perihal dirinya dan kabar akan keshalihannya. Maka, raja itupun pergi menemuinya dan meminta nasehatnya. Sang raja pun berkata kepadanya, “Kebutuhan anda terhadap ibadah yang anda lakukan juga dibutuhkan oleh diriku”. Akhirnya, sang raja turun dari tunggangannya dan mengikatnya, kemudian mengikuti orang tersebut hingga mereka berdua beribadah kepada Allah azza wa jalla bersama-sama” [Hasan. HR. Ahmad].
Perhatikan, kemampuan mereka berdua untuk mengoreksi kekeliruan serta keinginan untuk memperbaiki diri setelah dibutakan oleh kekuasaan, timbul setelah merenungkan dan mengintrospeksi hakikat kondisi mereka.
Ketiga, memperbaiki hubungan diantara sesama manusia
Introspeksi dan koreksi diri merupakan kesempatan untuk memperbaiki keretakan yang terjadi diantara manusia. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْوَابَ الْجَنَّةِ تُفْتَحُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ، فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ لَا يُشْرِكُ بِاللَّهِ شَيْئًا، إِلَّا رَجُلٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: أَنْظِرُوهُمَا حَتَّى يَصْطَلِحَا ” مَرَّتَيْنِ
Sesungguhnya pintu-pintu surga dibuka pada hari Senin dan Kamis, di kedua hari tersebut seluruh hamba diampuni kecuali mereka yang memiliki permusuhan dengan saudaranya. Maka dikatakan, “Tangguhkan ampunan bagi kedua orang ini hingga mereka berdamai” [Sanadnya shahih. HR. Ahmad].
Menurut anda, bukankah penangguhan ampunan bagi mereka yang bermusuhan, tidak lain disebabkan karena mereka enggan untuk mengoreksi diri sehingga mendorong mereka untuk berdamai?
Keempat, terbebas dari sifat nifak
Sering mengevaluasi diri untuk kemudian mengoreksi amalan yang telah dilakukan merupakan salah satu sebab yang dapat menjauhkan diri dari sifat munafik. Ibrahim at-Taimy mengatakan,
مَا عَرَضْتُ قَوْلِي عَلَى عَمَلِي إِلَّا خَشِيتُ أَنْ أَكُونَ مُكَذِّبًا
Tidaklah diriku membandingkan antara ucapan dan perbuatanku, melainkan saya khawatir jika ternyata diriku adalah seorang pendusta (ucapannya menyelisihi perbuatannya).
Ibnu Abi Malikah juga berkata,
أَدْرَكْتُ ثَلاَثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كُلُّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ، مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ يَقُولُ: إِنَّهُ عَلَى إِيمَانِ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ
Aku menjumpai 30 sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, merasa semua mengkhawatirkan kemunafikan atas diri mereka. Tidak ada satupun dari mereka yang mengatakan bahwa keimanannya seperti keimanan Jibril dan Mikail” [HR. Bukhari].
Ketika mengomentari perkataan Ibnu Abi Malikah, Ibnu Hajar mengutip perkataan Ibnu Baththal yang menyatakan,
إِنَّمَا خَافُوا لِأَنَّهُمْ طَالَتْ أَعْمَارُهُمْ حَتَّى رَأَوْا مِنَ التَّغَيُّرِ مَا لَمْ يَعْهَدُوهُ وَلَمْ يَقْدِرُوا عَلَى إِنْكَارِهِ فَخَافُوا أَنْ يَكُونُوا دَاهَنُوا بِالسُّكُوتِ
“Mereka khawatir karena telah memiliki umur yang panjang hingga mereka melihat berbagai kejadian yang tidak mereka ketahui dan tidak mampu mereka ingkari, sehingga mereka khawatir jika mereka menjadi seorang penjilat dengan sikap diamnya” [Fath al-Baari 1/111].
Kesimpulannya, seorang muslim sepatutnya mengakui bahwa dirinya adalah tempatnya salah dan harus mencamkan bahwa tidak mungkin dia terbebas dari kesalahan. Pengakuan ini mesti ada di dalam dirinya, agar dia dapat mengakui kesalahan-kesalahan yang dilakukannya sehingga pintu untuk mengoreksi diri tidak tertutup bagi dirinya. Allah ta’ala berfirman,
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Allah tidak akan mengubah kondisi suatu kaum sampai mereka mengubahnya sendiri” (Al-Ra`d 11).
Manusia merupakan makhluk yang lemah,  betapa seringnya dia memiliki pendirian dan sikap yang berubah-ubah. Namun, betapa beruntungnya mereka yang dinaungi ajaran agama dengan mengevaluasi diri untuk berbuat yang tepat dan mengoreksi diri sehingga melakukan sesuatu yang diridhai Allah. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran merupakan perilaku orang-orang yang kembali kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya.
Disadur dari artikel al-Muraja’ah wa at-Tashhih



Tips Bermuhasabah (Introspeksi diri)


Tahun baru adalah saat-saat yang tepat bagi kita untuk melakukan muhasabah atau introspeksi diri. Gunakanlah pergantian tahun sebagai momen yang tepat untuk melakukan perubahan diri. Beberapa tips untuk melakukan muhasabah yang baik adalah sebagai berikut:
1.      Carilah tempat yang tanpa gangguan untuk muhasabah, misalnya di kamar yang sepi, atau di masjid, atau di tempat yang kita agak asing di situ.
2.      Bawa alat tulis dan buku khusus muhasabah. Ini penting, agar kelak, beberapa bulan ke depan atau beberapa tahun ke depan jika suatu saat kita ingin mengukur sejauh mana perubahan telah terjadi dalam diri kita, kita dapat melihatnya dari buku itu.
3.      Berdo’a kepada Allah SWT dan mohonkan ampunan-Nya, kemudian mohonlah agar dapat memuhasabah diri sebagai ikhtiar memperbaiki diri.
4.      Renungkan berbagai kekurangan kita dalam beribadah kepada Allah SWT, baik dalam muamalah kepada sesama ataupun berbagai aspek lain dalam hidup kita. Gunakan pertimbangan ukhrowi saat merenungkan, maksudnya renungkanlah akibat perbuatan kita dari sisi Allah, bukan hanya dari sisi duniawi saja. Catatlah renungan di buku kita itu. Jangan malu menuliskan kekurangan kita. Format bebas sesuai kesukaan masing-masing. Sebagai contoh, bisa dibagi kertas itu dalam 2 bagian. Bagian yang lebar untuk menuliskan hasil muhasabah kita. bagian yang kecil nanti untuk menuliskan solusinya.
5.      Setelah merasa cukup menuliskan semua hal yang kita rasa perlu diperbaiki dalam diri kita, barulah tuliskan solusi-solusinya di kertas bagian kanan di buku khusus kita itu. Buatlah solusi yang riil (terjangkau) yang dapat kita lakukan dalam waktu dekat. Bisa harian atau mingguan. Setiap kita pastilah memiliki solusi-solusi yang berbeda bergantung dengan cara pandang,  pola pikir, dan wawasan kita.
6.      Setelah usai membuat solusi, bacalah ulang semua yang telah kita tulis tadi. Azzamkan/ teguhkan dalam diri kita bahwa kita akan menjalankan solusi-solusi riil itu.
7.      Perbanyaklah ibadah dan ketaatan pada Allah SWT dengan terus berdo’a agar memperbaiki diri kita dan meneguhkan semua ikhtiar kita dalam menuju ridho-Nya. Mintalah bantuannya ketika kita butuh bantuan diikuti dengan ikhtiar sebagai salah satu syarat terkabulnya do’a kita itu. Ikutilah setiap kesalahan atau perbuatan buruk yang kita perbuat dengan perbuatan baik. Lakukan terus menerus perbuatan baik yang dicintai Allah SWT sebanyak-banyaknya.
8.      Evaluasilah hasil kita dalam jangka waktu tertentu. bisa per 3 hari, lalu per minggu, dan per bulan. Lakukan dengan konsisten dengan terus meningkatkan kapasitas “solusi” yang kita buat. Terus perbaiki yang kurang dalam diri, dengan terus memohon kepada Allah SWT.
9.      Jika gagal, bangkit lagi, gagal, bangkit lagi, dan terus bangkit. jangan sampai kita menyerah karena menyerah berarti lari dari rahmat Allah SWT.
Semoga dengan muhasabah yang baik kita akan menjadi hamba-Nya yang makin mendekat kepada-Nya, mendekat pada syafaat Rasulullah SAW dan pada akhirnya, mendekat pada surga-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Amin.
Wallahu’alam bisshawab.

Introspeksi Diri
 

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 015

(ditulis oleh: Al-Ustadz Zainul Arifin)

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri t berkata:
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah penanggung jawab atas dirinya, (karenanya hendaknya ia senantiasa) mengintrospeksi diri kerena Allah I semata.”
“Adalah hisab (perhitungan amal) di Yaumul Qiyamah nanti akan terasa lebih ringan bagi suatu kaum yang (terbiasa) mengintrospeksi diri mereka selama masih di dunia, dan sungguh hisab tersebut akan menjadi perkara yang sangat memberatkan bagi kaum yang menjadikan masalah ini sebagai sesuatu yang tidak diperhitungkan.”
“Sesungguhnya seorang mukmin (apabila) dikejutkan oleh sesuatu yang dikaguminya maka dia pun berbisik: ‘Demi Allah, sungguh aku benar-benar sangat menginginkanmu, dan sungguh kamulah yang sangat aku butuhkan. Akan tetapi demi Allah, tiada (alasan syar’i) yang dapat menyampaikanku kepadamu, maka menjauhlah dariku sejauh-jauhnya. Ada yang menghalangi antara aku denganmu’.”
“Dan (jika) tanpa sengaja dia melakukan sesuatu yang melampaui batas, segera dia kembalikan pada dirinya sendiri sembari berucap: ‘Apa yang aku maukan dengan ini semua, ada apa denganku dan dengan ini? Demi Allah, tidak ada udzur (alasan) bagiku untuk melakukannya, dan demi Allah aku tidak akan mengulangi lagi selama-lamanya, insya Allah’.”
“Sesungguhnya seorang mukmin adalah suatu kaum yang berpegang erat kepada Al Qur`an dan memaksa amalan-amalannya agar sesuai dengan Al Qur`an serta berpaling dari (hal-hal) yang dapat membinasakan diri mereka.”
“Sesungguhnya seorang mukmin di dunia ini bagaikan tawanan yang (selalu) berusaha untuk terlepas dari perbudakan. Dia tidak pernah merasa aman dari sesuatupun hingga dia menghadap Allah, karena dia mengetahui bahwa dirinya akan dimintai pertanggungjawaban atas semua itu.”
“Seorang hamba akan senantiasa dalam kebaikan selama dia memiliki penasehat dari dalam dirinya sendiri. Dan mengintrospeksi diri merupakan perkara yang paling diutamakan.”
(Mawa’izh Lil Imam Al-Hasan Al-Bashri, hal. 39, 40, 41)


 Kehancuran Seorang Hamba karena Kurangnya Munasabah Binafsihi (Introspeksi Diri)

Indeks > Artikel > Kolom Gus > Kehancuran Hamba Tanpa Introspeksi Diri 11jan20

Awal malapetaka dan kehancuran seseorang terjadi ketika penyakit sombong dan merasa diri paling benar bersemayam dalam hatinya. Inilah sifat yang melekat pada iblis. Sifat inilah yang berusaha ditransfer iblis kepada manusia yang bersedia menjadi sekutunya.
Sifat ini ditandai dengan ketidaksiapan untuk menerima kebenaran yang datang dari pihak lain; keengganan melakukan introspeksi (muhasabah); serta sibuk melihat aib dan kesalahan orang lain tanpa mau melihat aib dan kekurangan diri sendiri.
Padahal, kebaikan hanya bisa terwujud manakala seseorang bersikap rendah hati (tawadu); mau menyadari dan mengakui kekurangan diri; melakukan introspeksi; serta siap menerima kebenaran dari siapa pun dan dari mana pun. Sikap seperti ini sebagaimana dicontohkan oleh orang-orang mulia dari para nabi dan rasul.
Nabi Adam AS dan Siti Hawa saat melakukan kesalahan dengan melanggar larangan Tuhan, alih-alih sibuk menyalahkan iblis yang telah menggoda dan memberikan janji dusta, mereka malah langsung bersimpuh mengakui segala kealpaan seraya berkata,
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ ٱلْخَٟسِرِينَ ﴿٢٣﴾
"Ya, Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang merugi." (QS Al-A'raf [7]: 23).
Demikian pula dengan Nabi Yunus AS saat berada dalam gelapnya perut ikan di tengah lautan. Ia tidak menyalahkan siapa pun, kecuali dirinya sendiri, seraya terus bertasbih menyucikan Tuhan-Nya. Ia berkata,
وَذَا ٱلنُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَٟضِبًۭا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِى ٱلظُّلُمَٟتِ أَن لَّآ إِلَٟهَ إِلَّآ أَنتَ سُبْحَٟنَكَ إِنِّى كُنتُ مِنَ ٱلظَّٟلِمِينَ ﴿٨٧﴾
"Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sesunguhnya, aku termasuk orang-orang yang zalim." (QS Al-Anbiya [21]: 87).
Bahkan, Nabi Muhammad SAW selalu membaca istigfar dan meminta ampunan kepada Allah SWT sebagai bentuk kesadaran yang paling tinggi bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Karena itu, ia harus selalu melakukan introspeksi. Beliau bersabda,
"Wahai, manusia, bertobatlah dan mintalah ampunan kepada-Nya. Sebab, aku bertobat sehari semalam sebanyak seratus kali." (HR Muslim).
Begitulah sikap arif para nabi yang patut dijadikan teladan. Mereka tidak merasa diri mereka sudah sempurna, bersih, dan suci. Allah SWT berfirman,
ٱلَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَٟٓئِرَ ٱلْإِثْمِ وَٱلْفَوَٟحِشَ إِلَّا ٱللَّمَمَ ۚ إِنَّ رَبَّكَ وَٟسِعُ ٱلْمَغْفِرَةِ ۚ هُوَ أَعْلَمُ بِكُمْ إِذْ أَنشَأَكُم مِّنَ ٱلْأَرْضِ وَإِذْ أَنتُمْ أَجِنَّةٌۭ فِى بُطُونِ أُمَّهَٟتِكُمْ ۖ فَلَا تُزَكُّوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ ٱتَّقَىٰٓ ﴿٣٢﴾
"Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui orang yang bertakwa." (QS Annajm [53]: 32).
Mari kita mau simak isi Syi'iran Gus Dur yang menyindir orang-orang yang selalu congkak merasa dirinya paling benar dan merasa sudah pintar dengan disebabkan mereka hafal Qur'an dan Hadits sehingga berani mengkafirkan atau mengecap musyrik orang lain yang tidak sefaham dengan dirinya sedang mereka tidak pernah mengoreksi dirinya sendiri, sebagaimana tembang berikut:
Akeh kang apal, Qur'an hadits'e
Seneng ngafirke marang liyane ...
Kafire dewe dak digateke
Yen isih kotor ati-akale ...
(Banyak yang hafal, Qur'an hadits
Senang mengkafirkan orang lain
Kekafirannya sendiri tidak diperhatikan
Sesungguhnya masih kotor hati-akalnya) ...
Karena itu, daripada mengarahkan telunjuk kepada orang, lebih baik mengarahkan telunjuk kepada diri sendiri. Daripada sibuk melihat aib orang, alangkah bijaknya kalau kita sibuk melihat aib sendiri. Orang yang pandai adalah orang yang bisa memanfaatkan ilmunya untuk mengoreksi amal perbuatan diri sendiri, bukan orang yang suka mengoreksi amal perbuatan orang lain akan tetapi kesalahan serta kekurangannya tidak pernah dikoreksinya. Dalam Musnad Anas ibn Malik RA, Nabi SAW bersabda,
"Beruntunglah orang yang sibuk melihat aib dirinya sehingga tidak sibuk dengan aib orang lain."
http://pesantren.web.id/ppssnh.malang/cgi-bin/content.cgi/artikel/kolom_gus/kehancuran_hamba_tanpa_introspeksi_diri-11jan20.single
http://muhammad-falikh.blogspot.com/2012/05/pengertian-makna-dan-hakikat-muhasabah.html

Bersyukur

Kalkulasi “Satu” Rahmat

17 Jun 2008 3 Komentar by top1hit4m in Haji, Tools, Umum, Utama Tag:oksigen, rahmat, syukur

Rahmat per-definisi orang miskin adalah kekayaan. Rahmat bagi orang tertindas adalah kebebasan. Rahmat bagi penguasa adalah langgeng kekuasaan. Rahmat bagi pedagang adalah laris daganganya. Rahmat bagi staf biasa adalah diangkat ke dalam jabatan. Rahmat bagi petani adalah pane melimpah ruah. Dengan arti kata Rahmat adalah mendapatkan sesuatu yang belum dalam genggaman. Selengkapnya

Mukjizat Sains al Qur'an

Salah satu yang dapat meneguhkan keyakinan itu adalah Ilmu Pengetahuan. Tingkat Keyakinan seseorang ditentukan oleh seberapa Ilmu Pengetahuannya. Maka bagaimana kita mencari Ilmu Pengetahuan tersebut? Apakah harus kuliah hingga mencapai Doktor, harus bekerja sebagai guru atau dosen? Tidak usah jauh–jauh, al Qur’an sudah menyediakannya melimpah untuk kita pelajari dan renungi. Selengkapnya

Pocicus Bdg

Pocicus Bdg
Manfaat positif minum teh sangat banyak, jika disimpulkan ada 14 macam, antara lain: [1] Teh bisa membangkitkan semangat orang, memperkuat kemampuan berpikir dan mengingat. [2] Teh dapat menghilangkan rasa lelah, mendorong metabolisme, serta memiliki fungsi memelihara kemampuan reguler jantung, pembuluh darah, usus lambung dan fungsi lainnya. [3] Minum teh memiliki manfaat yang sangat baik terhadap pencegahan kerusakan gigi. Menurut penyelidikan dari Inggris menunjukkan, bahwa anak-anak yang sering minum teh, kerusakan giginya dapat berkurang 60%. [erabaru.net]

Kejujuran

Cara Sederhana Mengajarkan Anak Untuk Bersyukur Bersyukur adalah hal yang sederhana namun sulit untuk dilakukan di dalam kehidupan sehari-hari kita.

Selanjutnya

“Kejujuran itu adalah ketenangan, sementara kebohongan adalah kegelisahan” (HR. Bukhari)

Selanjutnya

MINUM SAMBIL BERDIRI

MINUM SAMBIL BERDIRI

“Sungguh janganlah salah seorang dari kamu minum sambil berdiri.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (6/110-111) dari Umar bin Hamzah: “Telah bercerita kepadaku Abu Ghithan Murri, bahwa sesungguhnya dia mendengar Abu Hurairah berkata: “Telah bersabda Rasulullah e…, kemudian dia menyebutkan hadits itu dan menambahkan:“Barangsiapa yang lupa maka hendaklah memuntahkannya.”Selengkapnya

Minum Berdiri

Mari saling mengingatkan.Larangan “Minum Berdiri” (fakta Medis)

Dalam Islam, diatur adab-adab yang senantiasa kita lakukan setiap hari. Conth kecilnya adalah minum. Islam menganjurkan kita untuk minum sambil duduk dan sebaiknya tidak dalam keadaan berdiri.

Selanjutnya

BAHAYANYA MINUM SAMBIL BERDIRI

BAHAYANYA MINUM SAMBIL BERDIRI

Air minum yang masuk dengan cara minum sambil duduk akan disaring oleh sfringer. Sfringer adalah suatu struktur maskuler (berotot) yang bisa membuka (sehingga air kemih bisa lewat) dan menutup. Setiap air yang kita minum akan disalurkan pada pos-pos penyaringan yang berada di ginjal.

Selanjutnya

Amazing 30

Sinopsis:

Life begins at thirty, begitu kata pepatah. Padahal yang terjadi kadang malah membuat kita resah dan bimbang ketika akan melewati usia ini. Berbagai hal seolah terus memberatkan pikiran. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Ketakutan-ketakuan seperti apa yang sering membuat kita resah melewati usia 30? Kemapanan finansial, kah? Belum mendapat pasangan hidup? Kesiapan mental? Karier? Atau apa?.

Buku panduan praktis yang berisi kumpulan tips dan trik ini akan membantu Anda memecahkan berbagai persoalan dan dilema menjelang usia 30. Buku ini juga dilengkapi catatan perjalanan penulis, serta berbagai kisah menarik yang akan membuat Anda tersenyum menyambut usia baru.

Selanjutnya

Tien Sumartini: Iya, keponakanku, yang yatim di usia balita, alhamdulillah belajar dr keprihatinan, malah terasah emosinya,sampe bisa nulis buku "Amazing 30,-Melewati Usia 30 dengan Senyuman" Toko bagus.com juga bisa.Gramedia on line, dan Gramedia seJawa, Sumatera dan Kalimantan.Terimakasih sebelumnya.

photobucket 1

photobucket