Mengapa hati ini senang sekali terbuai dengan kemewahan dunia yang fana dan melupakan kemewahan kampung akhirat yang kekal?Mengapa hati ini membuat mata menjadi sangat sulit melelehkan air mata?
serta menangis karena-Nya?IDi manakah kelembutan hati ini untuk bertaqarrub kepada Allah
?ILari kemanakah hati ini dari berzikir kepada Allah
?UApakah yang menyebabkan hati ini gersang dan keruh untuk selalu mengingat Sang Kekasih, Allah
Dan di manakah posisi kita dari orang-orang yang disebutkan oleh Allah سبحانه وتعلى dalam firman-Nya,
"Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya, apabila Al Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata, "Mahasuci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi". Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'." (QS. Al Isra': 107-109).
Ketika hati tidak lagi tersentuh oleh lantunan indah ayat-ayat suci Al Qur'an dan lebih cenderung mengonsumsi nyanyian-nyanyian cengeng dan berisi maksiat, maka saat itulah hati menjadi keras membatu dan tak dapat melelehkan air mata di kala mengingat dosa-dosa dan peringatan tentang neraka Allah سبحانه وتعلى. Dan di saat itu pulalah, shalat tak lagi terasa nikmat. Munajat tak lagi manis dan hanya jadi aktifitas harian kita sebagaimana aktifitas di kantor, sekolah, kampus, atau lapangan akitifitas lainnya.
Hal ini bisa menimpa siapa saja bila tidak teliti dalam pelaksanaan ibadah kepada Allah سبحانه وتعلى, entah itu pada masalah niat ataukah gerakan-gerakan dalam pelaksanaan tersebut. Namun yang paling pokok dalam masalah tersebut adalah pada masalah niat, yang mana isinya adalah keikhlasan yang melahirkan kelembutan hati lalu diiringi dengan tangisan karena Allah سبحانه وتعلى semata.
Apa Itu Kelembutan Hati?
Para ahli hadits telah menulis sejumlah karya mereka dengan menggunakan istilah atau lafal ar-riqqah, dan memberikan tempat atau bab khusus tentang hal tersebut dalam buku-buku mereka. Mereka menuliskannya dengan judul, "Kitabur Raqaaiq" atau "ar-Riqaaq". Dan tokoh mereka dalam hal ini adalah imam seluruh ahli hadits, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari—rahimahullah.
Lafal ar-raqaaiq atau ar-riqaaq merupakan bentuk plural dari kata "raqiiqah". Hadits-hadits tertentu dikatakan ar-raqaaiq karena di dalam setiap hadits-hadits tersebut terdapat hal yang dapat membuat hati menjadi lembut.
Para ahli bahasa berkata, "Kata ar-riqqah bermakna ar-rahmah (kasih sayang), dan lawan katanya adalah al ghilzhah (kekerasan hati)."
Imam ar-Raghib al Ashfahani—rahimahullah—berkata, "Apabila sifat ar-riqqah (kelembutan) dipakai untuk perangai jiwa, maka kebalikannya adalah "al qaswah" (keras hati), seperti raqiiqul qalbi dan qaasil qalbi keduanya bermakna "berhati keras". (Lihat Fathul Bari juz 11 hal. 233).
Buah Kelembutan Hati
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda,
Hati yang terdidik di atas ketaatan kepada Sang Mahapengasih akan menjadikan pemiliknya bersifat lemah lembut dan sangat mudah menangis. Dan hal itu disebabkan karena permohonannya yang ikhlas kepada Rabb-nya agar memiliki sifat kelembutan hati untuk melelehkan air mata.
Karenanya, ketika alunan ayat-ayat suci Al Qur'an terlintas di pendengaran orang-orang shaleh, mereka lalu meresapinya hingga masuk ke dalam lubuk hati mereka. Maka pada saat itulah hati mereka bereaksi untuk melelehkan air mata. Walaupun yang mereka dengar hanya sepenggal ayat.
Maka di manakah kita dari orang-orang seperti mereka?
Mungkin kita pernah menangis, atau bahkan sering menangis. Tapi itu bukan karena Allah, mungkin karena kehilangan harta, sakit yang diderita, kerabat yang meninggal, atau bisa jadi untuk menarik perhatian manusia, dan sebagainya.
Memang, masalah tangis adalah persoalan yang sangat sulit dilakukan oleh orang-orang yang memiliki hati yang gersang, keruh, dan kotor. ITerlebih lagi hati yang telah keras membatu dari peringatan Allah berupa ancaman neraka. Sebagaimana firman Allah سبحانه وتعلى,
Hal ini dapat dijumpai pada orang-orang yang hatinya sedang lalai dari pengawasan Allah سبحانه وتعلى.
Masalah ini tidak hanya menimpa orang-orang awam atau orang yang tidak kenal agama ini, tetapi juga bisa menimpa para aktifis dakwah, penuntut ilmu syar'i, bahkan ulama sekalipun, karena tidak mengamalkan ilmu mereka dengan baik. Beribadah hanya karena ingin dikatakan sebagai ahli ibadah, orang alim dan lain sebagainya.
Sebab-sebab Lembutnya Hati
1. Memelihara hati dari penyimpangan dan dosa
Dalam bahasa Arab, hati dinamakan dengan al qalbu, karena sifat dan keadaannya yang senantiasa berubah-ubah. Sebagaimana yang digambarkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم ,
Menangis… Beginilah Para Sahabat Menangis
Menangis Karena Takut kepada Allah
Menangis Hanya Karena Allah
Sufyan berkata: “Menangis itu ada 10 macam, yakni 9 karena selain Allah dan satu karena Allah. Bila menangis karena Allah itu datang sekali dalam setahun, maka itu sudah terbilang banyak.” [Hilyatul Auliya' 7/11]
Anjuran Menangis Karena Allah
Qasamah bin Zuhair berkata, “Abu Musa pernah berkhotbah di kota Bashrah. Ia berkata, “Wahai manusia, menangislah. Jika kalian tidak bisa menangis, maka berusahalah untuk menangis. Karena penghuni Neraka akan menangis dengan mengeluarkan air mata sampai habis. Kemudian mereka akan menangis dengan mengeluarkan air mata darah. Bahkan seandainya di situ dilepaskan beberapa perahu, pastilah akan bisa berjalan.” [Hilyatul Auliya' 1/261]
Keutamaan Menangis Karena Allah
Ka’bul Ahbar berkata, “Sungguh, aku lebih suka menangis karena Allah, lalu air mataku mengalir diatas pipiku, daripada bersedekah dengan emas seberat timbanganku.” [Hilyatul Auliya' 5/366]
Buah Dari Menangis Karena Allah
Wuhaib bin Ward berkata, “Yahya bin Zakariya ‘alaihis salam memiliki dua garis dipipinya akibat menangis.” Kemudian ayahnya, Zakariya ‘alaihis salam berkata, “Sungguh, aku hanya meminta kepada Allahs eorang anak yang bisa menjadi penyejuk mataku.” Yahya ‘alaihis salam berkata, “Ayah, sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam memberitahuku bahwa diantara Surga dan Neraka ada sebuah gurun yang hanya bisa dilalui oleh orang yang rajin menangis.” [Hilyatul Auliya' 8/149]
Macam-Macam Tangisan
Yazid bin Maisaroh berkata, “Tangisan itu berasal dari tujuh hal: gembira, sedih, cemas, sakit,riya’, syukur, dan tangisan karena takut kepada Allah. Inilah tangisan yang tetesan air matanya bisa memadamkan api sebesat gunung.” [Hilyatul Auliya' 5/235]
Cara Mengundang Tangisan
Shalih al-Murri berkata, “Tangisan itu bisa diundang dengan cara memikirkan dosa, jika direspons positif oleh hati. Jika tidak, maka alihkan kepada kengerian dan kedahsyatan hari Kiamat, jika direspons positif. Jika tidak, maka tawarkanlah kepadanya untuk berguling-guling di antara nampan-nampan api (Neraka).” Kemudian ia pun menangis dan pingsan. Dan orang-orang pun berteriak histeris. [Hilyatul Auliya' 6/167]
Orang-Orang Shalih Terdahulu Yang Menangis Karena Takut Kepada Allah
1. Abdussalam (mantan budak Maslamah bin Abdul Malik) berkata, “Umar bin Abdul Aziz pernah menangis, lalu Fathimah ikut menangis. Namun mereka tidak tahu apa yang membuat mereka menangis. Ketika mereka selesai menangis, Fathimah bertanya, “Ya Amirul Mukminin, mengapa anda menangis?” Umar menjawab, “Fathimah, aku teringat hari dimana manusia dipisahkan dari hadapan Allah; satu kelompok di dalam Surga dan kelompok lainnya di dalam Neraka.” Kemudian ia berteriak dan pingsan. [Hilyatul Auliya' 5/269]
2. Apabila Umar bin Abdul Aziz mendengar pembicaraan tentang kematian, maka tubuhnya menggelepar seperti burung dan menangis sampai air matanya mengalir di jenggotnya.” [Hilyatul Auliya' 3/316]
3. Hani’ (mantan budak Utsman bin Affan) berkata, “Apabila Utsman bin Affan berdiri di atas kuburan, ia menangis hingga jenggotnya basa oleh air mata.” [Hilyatul Auliya' 1/61]
4. Malik bin Anas berkata, “Muhammad bin Munkadir adalah penghulu para pembaca. Hampir setiap kali ada orang yang bertanya kepadanya tentang hadits, ia selalu menangis.” [Hilyatul Auliya' 2/147]
5. Abu Ayyub al-A’raj berkata, “Sa’id bin Jubair selalu menangis di malang hari sampai rabun.” [Hilyatul Auliya' 4/272]
6. Sa’id bin Jubair berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih perhatian terhadap kemuliaan Baitullah ini daripada orang Bashrah. Pada suatu malam aku pernah melihat seorang wanita muda bergelayutan pada tirai Ka’bah. Ia memanjarkan doa, menangis dan menghiba sampai meninggal dunia.” [Hilyatul Auliya' 4/276]
7. Ali bin Abdillah berkata, Kami pernah bersama Yahya bin Sa’id al-Qaththan. Ketika ia keluar dari masjid, kami pun keluar bersamanya. Tatkala tiba di pintu rumahnya ia berdiri, dan kami pun berdiri. Lalu ia berkata kepada seorang pria, “Bacalah!” Pria itu pun membaca surat ad-Dukhan. Ketika ia mulai membaca aku melihat Yahya bin Sa’id berubah, hingga ketika sampai pada ayat,
“Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” [QS.ad Dukhan:40]
Tiba-tiba Yahya menjerit dan pingsan. Ia baru siuman setelah sekian lama. Kemudian kami menemuinya. Ternyata ia tengah tertidur di atas pembaringannya serayas membaca, “Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” [QS.ad Dukhan:40]. Maka keadaan itu terus berlangsung sampai ia meninggal dunia. [Hilyatul Auliya' 8/383]
Sumber: Disalin dari 1000 Hikmah Ulama Salaf, Bab.Menangis Karena Allah, Hal. 335 dst, Penerbit Elba. by : alqiyamah.wordpress.com
JALAN MENUJU MUHASABAH DIRI
Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya karena Allah Ta’ala . Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Dan sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi. Seorang mukmin itu bisa saja dikejutkan oleh sesuatu dan ia takjub kepadanya. Lalu berkatalah ia, ‘Demi Allah, aku benar-benar menginginkanmu. Begitupun kamu adalah bagian dari kebutuhanku. Tetapi, allah tidak memberi alasan bagiku untuk mencapaimu. Duhai, ada jurang diantara kau dan aku!’ Maka sesuatu itu pun lenyap dari hadapannya. Kemudian si mukmin akan kembali kepada dirinya dan berkata, ‘aku tidak menginginkan hal ini! Apa peduliku dengan semua ini! Demi Allah aku tidak akan mengulanginya selama-lamanya!’ Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang ditopang oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an menghalangi kehancurannya. Seorang mukmin adalah tawanan di dunia yang berusaha membebaskan diri (menuju negerinya: akhirat). Dia tidak merasa aman sampai berjumpa dengan Allah. Dia tahu bahwa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota badan, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.”Malik bin Dinar bertutur,”Semoga Allah merahmati seseorang yang berkata kepada diri (nafsu)nya, ‘Bukankah kamu pelaku ini? Bukankah kamu pelaku itu?’ Lalu ia mencelanya dan mengalahkannya. Kemudian dia memulazamahkan dirinya kepada kitab Allah, sehingga menjadi pemimpinnya.”
Adalah benar bagi setiap orang yang beriman kepada Allah subhanahu wa taala dan hari akhir untuk tidak melupakan introspeksi kepada nafsunya, menyempitkan ruang geraknya, dan menahan gejolaknya. Sehingga, setiap hembusan nafas adalah mutiara yang bernilai tinggi, dapat ditukar dengan perbendaharaan yang kenikmatannya tak akan pernah sirna sepanjang masa. Menyia-nyiakan nafas ini, atau menukarnya dengan sesuatu yang mendatangkan kecelakaan adalah kerugian yang sangat besar. Tidak dapat mentolerirnya kecuali manusia paling bodoh dan paling tolol. Hanya saja, hakekat kerugian ini baru benar-benar tampak nanti di hari kiamat.
يَوْمَ تَجِدُ كُلُّ نَفْسٍ مَا عَمِلَتْ مِنْ خَيْرٍ مُحْضَرًا وَمَا عَمِلَتْ مِنْ سُوءٍ تَوَدُّ لَوْ أَنَّ بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ أَمَدًا بَعِيدًا
“Pada hari setiap jiwa mendapati segala kebaikan yang dilakukannya dihadirkan dan juga segala kejahatan yang dilakukannya. Ia ingin ada penghalang yang panjang antara dia dan kejahatannya.”(QS Ali Imran: 30)
Muhasabah (menginstrospeksi diri) itu ada dua macam, sebelum beramal dan sesudahnya.
Muhasabah sebelum beramal yaitu hendaknya seseorang berhenti sejenak, merenung di saat pertama munculnya keinginan untuk melakukan sesuatu. Tidak bersegera kepadanya sampai benar-benar jelas baginya bahwa melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya.
Hasan al-Bashri Rahimahullah berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berpikir di saat pertama ia ingin melakukan sesuatu. Jika itu karena Allah ia lanjutkan dan jika bukan karena-Nya ia menangguhkannya.”
Sebagian ulama menjelaskan penuturan al-Hasan ini dengan, ‘Apabila diri tergerak untuk melakukan sesuatu, pertama-tama ia harus merenung, apakah amalan itu mampu ia kerjakan atau tidak. Jika tidak ada kemampuan untuk itu hendaknya ia berhenti. Tetapi jika ia mampu, hendaknya ia berpikir, apakah melakukannya lebih baik daripada meninggalkannya, ataukah sebaliknya. Jika yang ada adalah kemungkinan kedua, maka ia mesti meninggalkannya. Tetapi jika yang pertama, hendaknya ia bertanya, apakah faktor pendorongnya adalah untuk mendapatkan wajah Allah subhanahu wa ta’ala dan pahalanya, ataukah untuk mendapatkan kehormatan, pujian dan harta benda. Jika jawaban yang kedua yang muncul, hendaknya ia meninggalkannya. Meskipun jika ia melakukannya ia akan mendapatkan apa yang dicarinya. Ini sebagai pelatihan bagi diri agar tidak terbiasa dengan kesyirikan dan supaya takut beramal untuk selain Allah.
Semakin takut seseorang untuk beramal karena selain Allah, semakin ringan baginya untuk beramal karena Allah subhanahu wa ta’ala. Tetapi jika yang muncul adalah jawaban yang pertama, sekali lagi ia harus bertanya, apakah dia mendapatkan bantuan untuk itu? Atau adakah teman-teman yang akan membantu dan menolongnya- jika amalan itu tidak bisa dikerjakan sendirian? Jika tidak ada, ia harus menahan diri sebagaimana Nabi shalallahu alaihi wa sallam telah menahan diri dari memerangi musyrikin Mekah sampai terkumpul kekuatan dan kaum penolong. Adapun jika ia dibantu, hendaknya ia maju beramal, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala ia akan mendapat kemenangan. Dan adalah kemenangan itu tidak akan terlepas kecuali jika salah satu dari perkara-perkara di atas terlepas. Sekali lagi, dengan mengadakan hal-hal di atas kemenangan tidak akan terlepas. Itulah empat perkara yang harus dicermati oleh seorang hamba sebelum ia beramal.
Muhasabah sesudah beramal itu ada tiga:
1. Introspeksi diri atas berbagai ketaatan yang telah dilalaikan, yang itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala. Bahwa ia telah melaksanakannya dengan serampangan, tidak semestinya. Padahal hak Allah subhanahu wata’ala berkaitan dengan satu bentuk ketaatan itu ada enam. Yaitu, ikhlas dan setia kepada Allah subhanahu wa ta’ala di dalamnya, mengikuti Rasulullah shalallahu alaihi wa salam, menyaksikannya dengan persaksian ihsan, menyaksikannya sebagai anugerah Allah subhanahu wa ta’ala baginya, dan menyaksikan kelalaian dirinya di dalam mengamalkannya. Demikian, ia harus melihat apakah dirinya telah memenuhi keseluruhannya?
2. Introspeksi diri atas setiap amalan yang lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan.
3. Introspeksi diri atas perkara yang mubah, karena apa ia melakukannya. Apakah dalam rangka mengharap Allah subhanahu wa ta’ala dan akhirat, sehingga ia beruntung? Ataukah untuk mengharapkan dunia dan keserbabinasaannya, sehingga ia merugi?
Akhir dari perkara yang dilalaikan, tidak disertai dengan muhasabah, dibiarkan begitu saja, dianggap mudah dan disepelekan adalah kehancuran. Ini adalah keadaan orang-orang yang tertipu. Ia pejamkan matanya dari berbagai akibat kebejatannya sambil berharap Allah subhanahu wa ta’ala mengampuninya. Ia tidak pernah peduli kepada muhasabah dan akibat kejahatannya. Pun jika ia melakukannya, dengan segera ia akan berbuat dosa, menekuninya dan ia akan sangat kesulitan meninggalkannya.
Kesimpulan dari uraian ini, hendaknya seseorang itu mengintrospeksi diri lebih dahulu pada hal-hal yang fardlu. Bila ia melihat ada kekurangan padanya, ia akan melengkapinya dengan qadla’ (penggantian) atau ishlah (perbaikan). Lalu kepada hal-hal yang diharamkan. Bila ia merasa pernah melakukannya, ia pun bersegera untuk bertaubat, beristighfar, dan mengamalkan perbuatan-perbuatan baik yang dapat menghapuskan dosa. Kemudian kepada kealpaan. Bila ia mendapati dirinya telah alpa berkenaan dengan tujuan penciptaannya, maka ia segera memperbanyak dzikir dan menghadap Allah subhahanu wa ta’ala. Lalu kepada ucapan-ucapannya, atau kemana saja kakinya pernah berjalan, atau apa saja yang tangannya pernah memegang, atau telinganya pernah mendengar. Apa yang diinginkan dari semua ini? Mengapa ia melakukannya? Untuk siapa? Dan sesuaikah dengan petunjuk?
Sesungguhnya setiap gerakan atau ucapan itu akan dihadapkan pada dua pertanyaan, untuk siapa dikerjakan? dan bagaimana cara pengerjaannya? Pertanyaan pertama tentang ikhlas dan yang kedua tentang mutaba’ah (kesesuaian dengan sunnah)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Supaya (Allah) memintai pertanggungjawaban orang-orang yang benar tentang kebenaran mereka.” (QS Al-Ahzab 8).
Apabila orang-orang yang benar saja dimintai pertanggungjawaban atas kebenarannya, dan dihisab atasnya, lalu bagaimana dengan orang-orang yang dusta?
Faedah Muhasabah
1. Mengetahui aib diri
Barangsiapa tidak mengetahui aib dirinya sendiri, tidak mungkin mampu membuangnya. Yunus bin ‘Ubaid berkata, “Aku benar-benar mendapati seratus bentuk kebajikan. Tetapi kulihat, tidak ada satu pun yang ada pada diriku.”
Muhammad bin Wasi’ berkata, “seandainya dosa-dosa itu mempunyai bau, sungguh tidak ada seorang pun yang sanggup duduk di dekatku.”
Imam Ahmad meriwayatkan, Abu Darda’ berkata, “Seseorang itu tidak memahami agama ini dengan baik sampai ia membenci orang lain karena Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian ia kembali kepada nafsunya dan ia lebih membencinya lagi.”
2. Mengetahui hak Allah terhadapnya.
Hal itu akan membuatnya mencela nafsunya sendiri serta membebaskannya dari ujub dan riya’. Juga membukakan pintu ketundukan, penghinaan diri, kepasrahan dihadapan-Nya, dan keputusasaan terhadap dirinya sendiri. Sesungguhnya keselamatan itu hanya dapat dicapai dengan ampunan dari Allah subhanahu wa ta’ala dan rahmat-Nya. Merupakan hak Allah subhanahu wa ta’ala untuk ditaati dan tidak dimaksiati, diingat dan tidak dilupakan, serta disyukuri dan tidak dikafiri.
Diambil dari: Tazkiyah An-Nafs, Konsep Penyucian Jiwa Menurut Para Salaf; Ibnu Qoyyim al-Jauziyah, Ibnu Rajab al-Hambali, Imam Ghazali; Penerbit Pustaka Arafah (http://jilbab.or.id/)
Umar Al Faruq berkata :
حَاسِبُوا أنْفُسَكُم قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُا وَزِنُوْهَا قَبْلَ أَنْ تُوْزَنُوْا وَ تَزَيَّنُوا لِلعَرْضِ الأَكْبَر
Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang. Dan berhiaslah (beramal shalihlah) untuk persiapan hari ditampakkannya amalan hamba. [At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah]
Hakikat muhasabah ialah, menghitung dan membandingkan antara kebaikan dan keburukan. Sehingga, dengan perbandingan ini diketahui mana dari keduanya yang terbanyak. [Ibnu Qoyyim]
Ibnu Mas’ud berkata,”Cukuplah sesorang itu berdosa jika dikatakan kepadanya “bertakwalah kepada Allah”, lantas ia berkata ‘Urus dirimu sendiri, orang seperti kamu mau menasihatiku?”
Pada suatu hari Khalifah Harun Ar Rasyid keluar naik kendaraan untanya yang mewah dan penuh hiasan, lalu seorang Yahudi berkata kepadanya: “Wahai, Amirul Mukminin. Bertakwalah engkau kepada Allah,” maka beliaupun turun dari kendaraannya dan sujud kepada Allah di atas tanah dengan penuh tawadhu` dan khusyu. Khalifah kemudian memerintahkan agar kebutuhan orang Yahudi tersebut dipenuhi.
Tatkala ditanyakan mengapa Khalifah memerintahkan demikian, beliau menjawab: “Tatkala saya mendengar perkataan orang Yahudi tersebut, saya teringat firman Allah :
وَإِذَا قِيْلَ لَهُ اتَّقِ اللهَ أَخَذَتْهٌ الْعِزَّةُ بِالإِثْمِ فَحَسْبُهُ جَهَنَّمُ وَلَبِئْسَ الْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan kepadanya: “Bertakwalah kepada Allah”, bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam. Dan sesungguhnya Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya”. [Al Baqarah ayat 206-], maka saya khawatir, saya adalah orang yang disebut Allah tersebut. [Ramadhan Fursah Lit Taghyir, hlm. 13-14]
Hasan al-Bashri berkata, “Seorang mukmin itu pemimpin bagi dirinya sendiri. Ia mengintrospeksi dirinya karena Allah. Sesungguhnya hisab pada hari kiamat nanti akan ringan bagi mereka yang telah mengadakannya di dunia. Dan sebaliknya hisab akan berat bagi kaum yang menempuh urusan ini tanpa pernah berintrospeksi. Seorang mukmin itu bisa saja dikejutkan oleh sesuatu dan ia takjub kepadanya. Lalu berkatalah ia, ‘Demi Allah, aku benar-benar menginginkanmu. Begitupun kamu adalah bagian dari kebutuhanku. Tetapi, allah tidak memberi alasan bagiku untuk mencapaimu. Duhai, ada jurang diantara kau dan aku!’ Maka sesuatu itu pun lenyap dari hadapannya. Kemudian si mukmin akan kembali kepada dirinya dan berkata, ‘aku tidak menginginkan hal ini! Apa peduliku dengan semua ini! Demi Allah aku tidak akan mengulanginya selama-lamanya!’ Orang-orang yang beriman adalah orang-orang yang ditopang oleh Al-Qur’an. Al-Qur’an menghalangi kehancurannya. Seorang mukmin adalah tawanan di dunia yang berusaha membebaskan diri (menuju negerinya: akhirat). Dia tidak merasa aman sampai berjumpa dengan Allah. Dia tahu bahwa pendengaran, penglihatan, lisan, dan anggota badan, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban.” Hilyatul Auliya` (2/157)
Malik bin Dinar bertutur,”Semoga Allah merahmati seseorang yang berkata kepada diri (nafsu)nya, ‘Bukankah kamu pelaku ini? Bukankah kamu pelaku itu?’ Lalu ia mencelanya dan mengalahkannya. Kemudian dia memulazamahkan dirinya kepada kitab Allah, sehingga menjadi pemimpinnya.”
Ibnul Qayyim menjelaskan,”Namun, muhasabah ini akan terasa sulit bagi orang yang tidak memiliki tiga perkara, yaitu cahaya hikmah, berprasangka buruk kepada diri sendiri dan (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah (istidraj).”
Pertama : Cahaya hikmah, yaitu ilmu; yang dengannya seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dan kebatilan, petunjuk dan kesesatan, manfaat dan mudharat, yang sempurna dan yang kurang, kebaikan dan keburukan. Dengan demikian, ia bisa mengetahui tingkatan amalan yang ringan dan yang berat, yang diterima dan yang ditolak. Semakin terang cahaya hikmah ini pada seseorang, maka ia akan semakin tepat dalam perhitungannya (muhasabah).
Kedua : Adapun berprasangka buruk kepada diri sendiri sangat dibutuhkan (dalam muhasabah). Karena berbaik sangka kepada jiwa, dapat menghambat kepada sempurnanya pemeriksaan jiwa; sehingga bisa jadi, ia akan memandang kejelekan-kejelekannya menjadi kebaikan, dan (sebaliknya) memandang aibnya sebagai suatu kesempurnaan. Dan tidaklah berprasangka buruk kepada dirinya, kecuali orang yang mengenal dirinya. Barangsiapa yang berbaik sangka kepada jiwanya, maka ia adalah orang yang paling bodoh tentang dirinya sendiri.
Ketiga : Adapun (kemampuan) membedakan antara nikmat dan fitnah, yaitu untuk membedakan antara kenikmatan yang Allah anugerahkan kepadanya -berupa kebaikanNya dan kasih-sayangNya, yang dengannya ia bisa meraih kebahagiaan abadi- dengan kenikmatan yang merupakan istidraj dari Allah. Betapa banyak orang yang terfitnah dengan diberi kenikmatan (dibiarkan tenggelam dalam kenikmatan, sehingga semakin jauh tersesat dari jalan Allah, Pen), sedangkan ia tidak menyadari hal itu. Mereka terfitnah dengan pujian orang-orang bodoh, tertipu dengan kebutuhannya yang selalu terpenuhi dan aibnya yang selalu ditutup oleh Allah. Kebanyakan manusia menjadikan tiga perkara (pujian manusia, terpenuhinya kebutuhan, dan aib yang selalu tertutup) ini sebagai tanda kebahagiaan dan keberhasilan. Madarijus Salikin (1/ 321-324)
Ali bin Abi Thalib berkata: “Hendaklah kalian lebih memperhatikan agar amal kalian diterima (setelah beramal), dari pada perhatian kalian terhadap amalan kalian (tatkala sedang beramal). Apakah kalian tidak mendengar firman Allah إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ (Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa – [Al Maidah : 27].
Fadhalah dia berkata: “Saya mengetahui, bahwa Allah menerima amalan saya walaupun sekecil biji sawi lebih saya sukai, daripada dunia dan seisinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. [Al Maidah : 27]”. Ibnu Rajab Wazdaif Ramadhan/73
Abu Darda berkata,”Saya mengetahui, bahwa Allah telah menerima dariku satu shalat saja lebih aku sukai dari pada bumi dan seluruh isinya, karena Allah berfirman : Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa. [Al Maidah : 27]”
Hasan al-Bashri berkata, “Semoga Allah merahmati seorang hamba yang berpikir di saat pertama ia ingin melakukan sesuatu. Jika itu karena Allah ia lanjutkan dan jika bukan karena-Nya ia menangguhkannya.”
‘Atha` As Sulami berkata,”Waspadalah, jangan sampai amalanmu bukan karena Allah.”
Abdulaziz bin Abi Ruwwad berkata,”Aku mendapati mereka (para salaf) sangat bersungguh-sungguh tatkala beramal shalih. Namun jika mereka telah selesai beramal, mereka ditimpa kesedihan dan kekhawatiran apakah amalan mereka diterima atau tidak?” Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Maidah : 27
Syaikh Abu Madin: “Barangsiapa yang merealisasikan ibadahnya, maka dia akan memandang amal perbuatannya dengan kacamata riya’. Dia memandang keadaannya dengan pengakuan belaka, dan memandang perkataannya dengan kedustaan belaka. Semakin besar apa yang engkau harapkan di hatimu, maka akan semakin kecil jiwamu di hadapanmu, dan semakin sedikit pula nilai pengorbanan yang telah engkau keluarkan demi meraih harapanmu yang besar. Semakin engkau mengakui hakikat rububiyah Allah dan hakikat ‘ubudiyah, serta semakin engkau mengenal Allah dan mengenal dirimu sendiri, maka akan semakin jelas bagimu, bahwa apa yang ada pada dirimu berupa amal ketaatan, tidaklah pantas untuk diberikan kepada Allah. Walaupun engkau datang dengan membawa amalanmu (yang beratnya seperti amalan seluruh) jin dan manusia, maka engkau akan tetap takut dihukum Allah (karena engkau takut tidak diterima, Pen). Sesungguhnya Allah menerima amalanmu karena kemurahan dan kemuliaan serta karuniaNya kepadamu. Dia memberi pahala dan ganjaran kepadamu, juga karena kemuliaan, kemurahan dan karuniaNya. Madarijus Salikin, 1/327-330
sumber : www.suaraquran.com
Di Mana Air Matamu?
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/di-mana-air-matamu.html
http://muslimahfaqat.blogspot.com/2011/10/dimana-air-matamu.html
http://maripeduli.blogspot.com/2013/02/adab-adab-berfacebook.html
Menangis Karena Takut Kepada Allah
Tidak selalu menangis itu menunjukkan kecengengan atau kelemahan. Islam malah memerintah kita untuk banyak menangis. Kok bisa? Allah SWT berfirman :
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis. (TQS. Maryam [19]: 58)
Menangis yang disunnahkan dalam Islam, tentu saja bukan asal menangis, tapi menangis karena takut kepada Allah SWT. Sudah seharusnya kita takut kepada Allah SWT. Kita takut kepada-Nya karena Allah SWT adalah Maha Besar dan Perkasa.
kita takut kepada-Nya karena kita semua akan mengalami kematian dan akan mempertanggungjawabkan perbuatan kita kepada-Nya. Kita takut karena teringat siksa-Nya sangat keras bagi yang melakukan maksiat. Takut kepada-Nya kalau tidak dimasukkan ke dalam surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.
Namun berbeda takut kepada binatang buas yang membuat kita lari menjauh. Takut kepada Allah justru membuat kita ingin mendekat lebih dekat dan lebih dekat lagi kepadanya. Takut yang membawa ketenangan dan kenikmatan rohani yang tiada tara.
Rosulullah SAW sendiri adalah orang yang paling gampang menangis karena takut kepada Allah SWT. Dari Abdullah bin Syukhair ra. ia berkata: Aku mendatangi Rasulullah saw. pada saat beliau sedang shalat. Di perut beliau terdapat suara mendidih -seperti mendidihnya kuali- karena menangis. Demikian pula sahabat Rosulullah SAW Abu Bakar ra. sangat gampang menangis saat membaca al Qur’an.
Menangsi karena takut kepada Allah SWT, akan membuat kita dekat dengan Allah dan berusaha selalu mencintai-Nya dengan sepenuh daya. Kita mencintai-Nya dengan melaksanakan seluruh perintahNya menjauhi larangan-Nya. Tangis seperti inilah yang bisa menyelamatkan kita dari api neraka. Dari Anas ra. bahwa Nabi saw ia bersabda: Barang siapa mengingat Allah kemudian keluar air matanya karena takut kepada Allah hingga bercucuran jatuh ke tanah, maka dia tidak akan di siksa di Hari Kiamat kelak. (HR. Hakim)
Kita tentu ingin menjadi orang-orang yang dilindungi dan dinaungi oleh Allah SWT di hari akhir nanti. Hari dimana tidak ada pelindung kecuali naungan Allah SWT. Dari Abi Hurairah ra. ia berkata, Rasulullah saw. bersabda: Ada tujuh golongan yang Allah akan menaunginya pada saat tidak ada naungan kecuali naungan Allah. Yang ketujuh adalah: Manusia yang berdzikir kepada Allah saat tidak dilihat siapapun, kemudian bercucuran air matanya. (Mutafaq 'alaih)
Kita pantas merenung kalau kita tidak pernah menangis karena Allah. Pasti ada yang salah pada diri kita. Mungkin hati kita sudah mengeras, mungkin jiwa kita sudah kering. Karena itu menangislah sebanyak-banyaknya karena takut kepada Allah , itu menunjukkan jiwa kita masih lembut . Jiwa yang lembut dan peka akan menyelamatkan kita. Karena itu, berusahalah selalu menangis karena Allah.
(Ust. Hari Moekti)
https://www.facebook.com/
http://
Menangis Karena Takut kepada Allah ...
Sufyan berkata: “Menangis itu ada 10 macam, yakni 9 karena selain Allah dan satu karena Allah. Bila menangis karena Allah itu datang sekali dalam setahun, maka itu sudah terbilang banyak.”
Anjuran Menangis Karena Allah
Qasamah bin Zuhair berkata, “Abu Musa pernah berkhotbah di kota Bashrah. Ia berkata, “Wahai manusia, menangislah. Jika kalian tidak bisa menangis, maka berusahalah untuk menangis. Karena penghuni Neraka akan menangis dengan mengeluarkan air mata sampai habis. Kemudian mereka akan menangis dengan mengeluarkan air mata darah. Bahkan seandainya di situ dilepaskan beberapa perahu, pastilah akan bisa berjalan.”
Keutamaan Menangis Karena Allah
Ka’bul Ahbar berkata, “Sungguh, aku lebih suka menangis karena Allah, lalu air mataku mengalir diatas pipiku, daripada bersedekah dengan emas seberat timbanganku.”
Buah Dari Menangis Karena Allah
Wuhaib bin Ward berkata, “Yahya bin Zakariya ‘alaihis salam memiliki dua garis dipipinya akibat menangis.” Kemudian ayahnya, Zakariya ‘alaihis salam berkata, “Sungguh, aku hanya meminta kepada Allah seorang anak yang bisa menjadi penyejuk mataku.” Yahya ‘alaihis salam berkata, “Ayah, sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam memberitahuku bahwa diantara Surga dan Neraka ada sebuah gurun yang hanya bisa dilalui oleh orang yang rajin menangis.”
Macam-Macam Tangisan
Yazid bin Maisaroh berkata, “Tangisan itu berasal dari tujuh hal: gembira, sedih, cemas, sakit, riya’, syukur, dan tangisan karena takut kepada Allah. Inilah tangisan yang tetesan air matanya bisa memadamkan api sebesat gunung.”
Cara Mengundang Tangisan
Shalih al-Murri berkata, “Tangisan itu bisa diundang dengan cara memikirkan dosa, jika direspons positif oleh hati. Jika tidak, maka alihkan kepada kengerian dan kedahsyatan hari Kiamat, jika direspons positif. Jika tidak, maka tawarkanlah kepadanya untuk berguling-guling di antara nampan-nampan api (Neraka).” Kemudian ia pun menangis dan pingsan. Dan orang-orang pun berteriak histeris.
Orang-Orang Shalih Terdahulu Yang Menangis Karena Takut Kepada Allah
1. Abdussalam (mantan budak Maslamah bin Abdul Malik) berkata, “Umar bin Abdul Aziz pernah menangis, lalu Fathimah ikut menangis. Namun mereka tidak tahu apa yang membuat mereka menangis. Ketika mereka selesai menangis, Fathimah bertanya, “Ya Amirul Mukminin, mengapa anda menangis?” Umar menjawab, “Fathimah, aku teringat hari dimana manusia dipisahkan dari hadapan Allah; satu kelompok di dalam Surga dan kelompok lainnya di dalam Neraka.” Kemudian ia berteriak dan pingsan.
2. Apabila Umar bin Abdul Aziz mendengar pembicaraan tentang kematian, maka tubuhnya menggelepar seperti burung dan menangis sampai air matanya mengalir di jenggotnya.”
3. Hani’ (mantan budak Utsman bin Affan) berkata, “Apabila Utsman bin Affan berdiri di atas kuburan, ia menangis hingga jenggotnya basa oleh air mata.”
4. Malik bin Anas berkata, “Muhammad bin Munkadir adalah penghulu para pembaca. Hampir setiap kali ada orang yang bertanya kepadanya tentang hadits, ia selalu menangis.”
5. Abu Ayyub al-A’raj berkata, “Sa’id bin Jubair selalu menangis di malang hari sampai rabun.”
6. Sa’id bin Jubair berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih perhatian terhadap kemuliaan Baitullah ini daripada orang Bashrah. Pada suatu malam aku pernah melihat seorang wanita muda bergelayutan pada tirai Ka’bah. Ia memanjarkan doa, menangis dan menghiba sampai meninggal dunia.”
7. Ali bin Abdillah berkata, Kami pernah bersama Yahya bin Sa’id al-Qaththan. Ketika ia keluar dari masjid, kami pun keluar bersamanya. Tatkala tiba di pintu rumahnya ia berdiri, dan kami pun berdiri. Lalu ia berkata kepada seorang pria, “Bacalah!” Pria itu pun membaca surat ad-Dukhan. Ketika ia mulai membaca aku melihat Yahya bin Sa’id berubah, hingga ketika sampai pada ayat,
“Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” [QS.ad Dukhan:40]
Tiba-tiba Yahya menjerit dan pingsan. Ia baru siuman setelah sekian lama. Kemudian kami menemuinya. Ternyata ia tengah tertidur di atas pembaringannya serayas membaca, “Sesungguhnya hari keputusan itu adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka semuanya.” [QS.ad Dukhan:40].
Maka keadaan itu terus berlangsung sampai ia meninggal dunia.
GABUNG YUK di FP Sahabat QALBU Cahaya Jiwa ada banyak kata HIKMAH, RENUNGAN dan MOTIVASI.
Ajak sahabat yanng lainnya bergabung
insya Allah Bermanfaat
https://www.facebook.com/
http://
Tidak ada komentar:
Posting Komentar